Contoh Perspektif Psikologi Sosial dalam
kehidupan sehari-hari
Untuk
lebih jelas, di bawah ini diuraikan satu persatu keempat perspektif dalam psikologi
sosial.
1.
Perspektif
Perilaku (Behavioral Perspective)
Pendekatan ini awalnya
diperkenalkan oleh John B. Watson (1941, 1919). Pendekatan ini cukup banyak
mendapat perhatian dalam psikologi di antara tahun 1920-an s/d 1960-an. Ketika
Watson memulai penelitiannya, dia menyarankan agar pendekatannya ini tidak
sekedar satu alternatif bagi pendekatan instinktif dalam memahami perilaku
sosial, tetapi juga merupakan alternatif lain yang memfokuskan pada pikiran,
kesadaran, atau pun imajinasi.
Contohnya, sebuah rangsangan
"seorang teman datang", lalu memunculkan tanggapan misalnya,
"tersen-yum". Jadi seseorang tersenyum, karena ada teman yang datang
kepadanya. Para behavioris tadi percaya bahwa rangsangan dan tanggapan dapat
dihubungkan tanpa mengacu pada pertimbangan mental yang ada dalam diri
seseorang. Jadi tidak terlalu mengejutkan jika para behaviorisme tersebut
dikategorikan sebagai pihak yang menggunakan pendekatan "kotak hitam
(black-box)". Rangsangan masuk ke sebuah kotak (box) dan menghasilkan
tanggapan. Mekanisme di dalam kotak hitam
tadi - struktur internal atau proses mental yang mengolah rangsangan dan
tanggapan - karena tidak dapat dilihat secara langsung (not directly observable),
bukanlah bidang kajian para behavioris tradisional.
Contoh di atas merupakan penguat
positif. Contoh penguat negatif, misalnya beberapa kali pada saat kita bertemu
dengan orang asing lalu kita tersenyum dan orang asing tersebut diam saja atau
bahkan menunjukan rasa tidak suka, maka dikemudian hari jika kita bertemu orang
asing kembali, kita cenderung tidak tersenyum (diam saja).
Dalam pendekatan perilaku terdapat
teori-teori yang mencoba menjelaskan secara lebih mendalam mengapa fenomena
sosial yang diutarakan dalam pendekatan perilaku bisa terjadi. Beberapa teori
antara lain adalah Teori Pembelajaran Sosial (Social Learning Theory) dan Teori
Pertukaran Sosial (Social Exchange The).
2.
Perspektif
Kognitif (The Cognitive Perspective)
Kita telah memberikan indikasi
bahwa kebiasaan (habit) merupakan penjelasan alternatif yang bisa digunakan
untuk memahami perilaku sosial seseorang di samping instink (instinct). Namun
beberapa analis sosial percaya bahwa kalau hanya kedua hal tersebut (kebiasaan
dan instink) yang dijadikan dasar, maka dipandang terlampau ekstrem - karena mengabaikan
kegiatan mental manusia.
Seorang psikolog James Baldwin
(1897) menyatakan bahwa paling sedikit ada dua bentuk peniruan, satu didasarkan
pada kebiasaan kita dan yang lainnya didasarkan pada wawasan kita atas diri
kita sendiri dan atas orang lain yang perilakunya kita tiru. Walau dengan
konsep yang berbeda seorang sosiolog Charles Cooley (1902) sepaham dengan
pandangan Baldwin. Keduanya memfokuskan perhatian mereka kepada perilaku sosial
yang melibatkan proses mental atau kognitif.
Kemudian banyak para psikolog
sosial menggunakan konsep sikap (attitude) untuk memahami proses mental atau
kognitif tadi. Dua orang sosiolog W.I. Thomas dan Florian Znaniecki
mendefinisikan psikologi sosial sebagai studi tentang sikap, yang diartikannya
sebagai proses mental individu yang menentukan tanggapan aktual dan potensial
individu dalam dunia sosial". Sikap merupakan predisposisi perilaku.
Beberapa teori yang melandasi perpektif ini antara lain adalah Teori Medan (Field Theory), Teori Atribusi
dan Konsistensi Sikap (Concistency Attitude and Attribution Theory), dan Teori
Kognisi Kontemporer.
a.
Teori
Medan (Field Theory)
Seorang psikolog, Kurt Lewin (1935,1936)
mengkaji perilaku sosial melalui pendekatan konsep "medan"/"field" atau "ruang
kehidupan" - life space. Untuk
memahami konsep ini perlu dipahami bahwa secara tradisional para psikolog
memfokuskan pada keyakinan bahwa karakter individual (instink dan kebiasaan),
bebas - lepas dari pengaruh situasi di mana individu melakukan aktivitas.
Bagi Lewin, pemahaman atas perilaku
seseorang senantiasa harus dikaitkan dengan konteks - lingkungan di mana
perilaku tertentu ditampilkan. Intinya, teori medan berupaya menguraikan
bagaimana situasi yang ada (field) di
sekeliling individu bepengaruh pada perilakunya. Sesungguhnya teori medan mirip
dengan konsep "gestalt" dalam psikologi yang memandang bahwa
eksistensi bagian-bagian atau unsur-unsur tidak bisa terlepas satu sama
lainnya. Misalnya, kalau kita melihat
bangunan, kita tidak melihat batu bata, semen, kusen, kaca, secara satu
persatu. Demikian pula kalau kita mempelajari perilaku individu, kita tidak
bisa melihat individu itu sendiri, lepas dari konteks di mana individu tersebut
berada.
b.
Teori
Atribusi dan Konsistensi Sikap ( Attitude
Consistency and Attribution Theory)
Fritz Heider (1946, 1958), seorang
psikolog bangsa Jerman mengatakan bahwa kita cenderung mengorganisasikan sikap
kita, sehingga tidak menimbulkan konflik. Contohnya, jika kita setuju pada hak
seseorang untuk melakukan aborsi, seperti juga orang-orang lain, maka sikap
kita tersebut konsisten atau seimbang (balance).
Namun jika kita setuju aborsi tetapi ternyata teman-teman dekat kita dan juga
orang-orang di sekeliling kita tidak setuju pada aborsi maka kita dalam kondisi
tidak seimbang (imbalance). Akibatnya
kita merasa tertekan (stress), kurang
nyaman, dan kemudian kita akan mencoba mengubah sikap kita, menyesuaikan dengan
orang-orang di sekitar kita, misalnya dengan bersikap bahwa kita sekarang tidak
sepenuhnya setuju pada aborsi. Melalui pengubahan sikap tersebut, kita menjadi
lebih nyaman. Intinya sikap kita senantiasa kita sesuaikan dengan sikap orang
lain agar terjadi keseimbangan karena dalam situasi itu, kita menjadi lebih
nyaman.
c.
Teori
Kognitif Kontemporer
Dalam tahun 1980-an, konsep kognisi,
sebagian besarnya mewarnai konsep sikap. Istilah "kognisi" digunakan
untuk menunjukan adanya proses mental dalam diri seseorang sebelum melakukan
tindakan. Teori kognisi kontemporer memandang manusia sebagai agen yang secara
aktif menerima, menggunakan, memanipulasi, dan mengalihkan informasi. Kita
secara aktif berpikir, membuat rencana, memecahkan masalah, dan mengambil
keputusan. Manusia memproses informasi dengan cara tertentu melalui struktur
kognitif yang diberi istilah "schema"
(Markus dan Zajonc, 1985 ; Morgan dan Schwalbe, 1990; Fiske and Taylor, 1991).
Struktur tersebut berperan sebagai kerangka yang dapat menginterpretasikan pengalaman-pengalaman sosial yang kita
miliki. Jadi struktur kognisi bisa membantu kita mencapai keterpaduan dengan
lingkungan, dan membantu kita untuk menyusun realitas sosial. Sistem ingatan
yang kita miliki diasumsikan terdiri atas struktur pengetahuan yang tak
terhitung jumlahnya.
Intinya, teori-teori kognitif memusatkan
pada bagaiamana kita memproses informasi yang datangnya dari lingkungan ke
dalam struktur mental kita Teori-teori kognitif percaya bahwa kita tidak bisa
memahami perilaku sosial tanpa memperoleh informasi tentang proses mental yang
bisa dipercaya, karena informasi tentang hal yang obyektif, lingkungan
eksternal belum mencukupi.
3.
Perspektif
Struktural
Telah kita catat bahwa telah
terjadi perdebatan di antara para ilmuwan sosial dalam hal menjelaskan perilaku
sosial seseorang. Untuk menjelaskan perilaku sosial seseorang dapat dikaji
sebagai sesuatu proses yang (1)
instinktif, (2) karena kebiasaan, dan
(3) juga yang bersumber dari proses mental. Mereka semua tertarik, dan dengan
cara sebaik mungkin lalu menguraikan hubungan antara masyarakat dengan
individu. William James dan John Dewey menekankan pada penjelasan kebiasaan
individual, tetapi mereka juga mencatat bahwa kebiasaan individu mencerminkan kebiasaan
kelompok yaitu adat istiadat masyarakat atau strutur sosial.
Para sosiolog yakin bahwa struktur
sosial terdiri atas jalinan interaksi antar manusia dengan cara yang relatif
stabil. Kita mewarisi struktur sosial dalam satu pola perilaku yang diturunkan
oleh satu generasi ke generasi berikutnya, melalui proses sosialisasi.
Disebabkan oleh struktur sosial, kita mengalami kehidupan sosial yang telah
terpolakan. James menguraikan pentingnya dampak struktur sosial atas
"diri" (self) - perasaan kita terhadap diri kita sendiri. Masyarakat
mempengaruhi diri - self.
Sosiolog lain Robert Park dari
Universitas Chicago memandang bahwa masyarakat mengorganisasikan,
mengintegrasikan, dan mengarahkan kekuatan-kekuatan individu- individu ke dalam berbagai macam peran (roles).
Melalui peran inilah kita menjadi tahu siapa diri kita. Kita adalah seorang
anak, orang tua, guru, mahasiswa, laki-laki, perempuan, Islam, Kristen. Konsep
kita tentang diri kita tergantung pada peran yang kita lakukan dalam
masyarakat. Beberapa teori yang melandasi persektif strukturan adalah Teori
Peran (Role Theory), Teori Pernyataan - Harapan (Expectation-States Theory),
dan Posmodernisme (Postmodernism).
a.
Teori
Peran (Role Theory)
Walau
Park menjelaskan dampak masyarakat atas perilaku kita dalam hubungannya dengan
peran, namun jauh sebelumnya Robert Linton (1936), seorang antropolog, telah
mengembangkan Teori Peran. Teori Peran menggambarkan interaksi sosial dalam
terminologi aktor-aktor yang bermain sesuai dengan apa-apa yang ditetapkan oleh
budaya. Sesuai dengan teori ini, harapan-harapan peran merupakan pemahaman
bersama yang menuntun kita untuk berperilaku dalam kehidupan sehari-hari.
Menurut teori ini, seseorang yang mempunyai peran tertentu misalnya sebagai
dokter, mahasiswa, orang tua, wanita, dan lain sebagainya, diharapkan agar
seseorang tadi berperilaku sesuai dengan peran tersebut. Mengapa seseorang mengobati
orang lain, karena dia adalah seorang dokter. Jadi karena statusnya adalah
dokter maka dia harus mengobati pasien yang datang kepadanya. Perilaku
ditentukan oleh peran sosial
Kemudian, sosiolog yang bernama Glen
Elder (1975) membantu memperluas penggunaan teori peran. Pendekatannya yang
dinamakan “life-course” memaknakan bahwa setiap masyarakat mempunyai harapan
kepada setiap anggotanya untuk mempunyai perilaku tertentu sesuai dengan
kategori-kategori usia yang berlaku dalam masyarakat tersebut. Contohnya,
sebagian besar warga Amerika Serikat akan menjadi murid sekolah ketika berusia
empat atau lima tahun, menjadi peserta pemilu pada usia delapan belas tahun,
bekerja pada usia tujuh belah tahun, mempunyai istri/suami pada usia dua puluh
tujuh, pensiun pada usia enam puluh tahun. Di Indonesia berbeda. Usia sekolah
dimulai sejak tujuh tahun, punya pasangan hidup sudah bisa usia tujuh belas
tahun, pensiun usia lima puluh lima tahun. Urutan tadi dinamakan “tahapan usia”
(age grading). Dalam masyarakat kontemporer kehidupan kita dibagi ke dalam masa
kanak-kanak, masa remaja, masa dewasa, dan masa tua, di mana setiap masa
mempunyai bermacam-macam pembagian lagi.
b.
Teori
Pernyataan Harapan (Expectation-States Theory)
Teori ini diperkenalkan oleh Joseph Berger dan rekan-rekannya di
Universitas Stanford pada tahun 1972. Jika pada teori peran lebih mengkaji pada
skala makro, yaitu peran yang ditetapkan oleh masyarakat, maka pada teori ini
berfokus pada kelompok kerja yang lebih kecil lagi. Menurut teori ini,
anggota-anggota kelompok membentuk harapan-harapan atas dirinya sendiri dan
diri anggota lain, sesuai dengan tugas-tugas yang relevan dengan kemampuan
mereka, dan harapan-harapan tersebut mempengaruhi gaya interaksi di antara
anggota-anggota kelompok tadi. Sudah tentu atribut yang paling berpengaruh
terhadap munculnya kinerja yang diharapkan adalah yang berkaitan dengan
ketrampilan kerjanya. Anggota-anggota kelompok dituntut memiliki motivasi dan
ketrampilan yang diperlukan untuk menyelesaikan tugas-tugas kelompok yang
diharapkan bisa ditampilkan sebaik mungkin.
Bagaimanapun juga, kita sering kekurangan
informasi tentang kemampuan yang berkaitan dengan tugas yang relevan, dan
bahkan ketika kita memiliki informasi, yang muncul adalah bahwa kita juga harus
mendasarkan harapan kita pada atribut pribadi dan kelompok seperti : jenis
kelamin, ras, dan usia. Dalam beberapa masyarakat tertentu, beberapa atribut
pribadi dinilai lebih penting daripada atribut lainnya. Untuk menjadi pemimpin,
jenis kelamin kadang lebih diprioritaskan ketimbang kemampuan. Di Indonesia,
untuk menjadi presiden, ras merupakan syarat pertama yang harus dipenuhi.
Berger menyebut gejala tersebut sebagai “difusi karakteristik status”;
karakteristik status mempengaruhi harapan kelompok kerja. Status laki-laki
lebih tinggi dibanding perempuan dalam soal menjadi pemimpin, warganegara
pribumi asli lebih diberi tempat menduduki jabatan presiden. Difusi
karakteristik status tersebut ( jenis
kelamin, ras, usia, dan lainnya) dengan demikian, mempunyai pengaruh yang kuat
terhadap interaksi sosial.
c.
Posmodernisme
(Postmodernism)
Baik teori peran maupun teori pernyataan-harapan, keduanya menjelaskan
perilaku sosial dalam kaitannya dengan harapan peran dalam masyarakat
kontemporer. Beberapa psikolog lainnya justru melangkah lebih jauh lagi. Pada
dasarnya teori posmodernisme atau dikenal dengan singkatan “POSMO” merupakan
reaksi keras terhadap dunia modern. Teori Posmodernisme, contohnya, menyatakan
bahwa dalam masyarakat modern, secara gradual seseorang akan kehilangan
individualitas-nya – kemandiriannya, konsep diri, atau jati diri. (Denzin,
1986; Murphy, 1989; Dowd, 1991; Gergen, 1991) . Dalam pandangan teori ini upaya
kita untuk memenuhi peran yang dirancangkan untuk kita oleh masyarakat,
menyebabkan individualitas kita digantikan oleh kumpulan citra diri yang kita
pakai sementara dan kemudian kita campakkan..
Berdasarkan pandangan posmodernisme, erosi gradual individualitas muncul
bersamaan dengan terbitnya kapitalisme dan rasionalitas. Faktor-faktor ini
mereduksi pentingnya hubungan pribadi dan menekankan aspek nonpersonal.
Kapitalisme atau modernisme, menurut teori ini, menyebabkan manusia dipandang
sebagai barang yang bisa diperdagangkan nilainya (harganya) ditentukan oleh
seberapa besar yang bisa dihasilkannya.
Setelah Perang Dunia II, manusia makin dipandang sebagai konsumen dan
juga sebagai produsen. Industri periklanan dan masmedia menciptakan citra
komersial yang mampu mengurangi keanekaragaman individualitas. Kepribadian
menjadi gaya hidup. Manusia lalu dinilai bukan oleh kepribadiannya tetapi oleh
seberapa besar kemampuannya mencontoh gaya hidup. Apa yang kita pertimbangkan
sebagai “ pilihan kita sendiri” dalam hal musik, makanan, dan lain-lainnya,
sesungguhnya merupakan seperangkat kegemaran yang diperoleh dari kebudayaan
yang cocok dengan tempat kita dalam struktur ekonomi masyarakat kita. Misalnya,
kesukaan remaja Indonesia terhadap musik
“rap” tidak lain adalah disebabkan karena setiap saat telinga mereka dijejali
oleh musik tersebut melalui radio, televisi, film, CD, dan lain sebagainya.
Gemar musik “rap” menjadi gaya hidup remaja. Lalu kalau mereka tidak menyukai
musik “rap”, dia bukan remaja. Perilaku
seseorang ditentukan oleh gaya hidup orang-orang lain yang ada di sekelilingnya
, bukan oleh dirinya sendiri. Kepribadiannya hilang individualitasnya lenyap.
Itulah manusia modern, demikian menurut pandangan penganut “posmo”.
Intinya, teori peran, pernyataan-harapan,
dan posmodernisme memberikan ilustrasi perspektif struktural dalam hal bagaimana harapan-harapan
masyarakat mempengaruhi perilaku sosial individu. Sesuai dengan perspektif ini,
struktur sosial – pola interaksi yang sedang terjadi dalam masyarakat –
sebagian besarnya pembentuk dan sekaligus juga penghambat perilaku individual.
Dalam pandangan ini, individu mempunyai peran yang pasif dalam menentukan
perilakunya. Individu bertindak karena ada kekuatan struktur sosial yang
menekannya.
4.
Perspektif
Interaksionis (Interactionist Perspective)
Seorang sosiolog yang bernama
George Herbert Mead (1934) yang mengajar psiokologi sosial pada departemen
filsafat Universitas Chicago, mengembangkan teori ini. Mead percaya bahwa
keanggotaan kita dalam suatu kelompok sosial menghasilkan perilaku bersama yang
kita kenal dengan nama budaya.
Dalam waktu yang bersamaan, dia
juga mengakui bahwa individu-individu yang memegang posisi berbeda dalam suatu
kelompok, mempunyai peran yang berbeda pula, sehingga memunculkan perilaku yang
juga berbeda. Misalnya, perilaku pemimpin berbeda dengan pengikutnya. Dalam
kasus ini, Mead tampak juga seorang strukturis. Namun dia juga menentang
pandangan bahwa perilaku kita melulu dipengaruhi oleh lingkungan sosial atau
struktur sosial. Sebaliknya Mead percaya bahwa kita sebagai bagian dari
lingkungan sosial tersebut juga telah membantu menciptakan lingkungan tersebut.
Lebih jauh lagi, dia memberi catatan bahwa walau kita sadar akan adanya sikap
bersama dalam suatu kelompok/masyarakat, namun hal tersebut tidaklah berarti
bahwa kita senantiasa berkompromi dengannya.
Mead juga tidak setuju pada
pandangan yang mengatakan bahwa untuk bisa memahami perilaku sosial, maka yang
harus dikaji adalah hanya aspek eksternal (perilaku yang teramati) saja. Dia
menyarankan agar aspek internal (mental) sama pentingnya dengan aspek eksternal
untuk dipelajari. Karena dia tertarik pada aspek internal dan eksternal atas
dua atau lebih individu yang berinteraksi, maka dia menyebut aliran perilakunya
dengan nama “social behaviorism”. Dalam perspektif interaksionis ada beberapa
teori yang layak untuk dibahas yaitu Teori Interaksi Simbolis (Symbolic
Interaction Theory), dan Teori Identitas (Identity Theory).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar