Sumber Hukum dan Metode
Penafsiran Hukum
A.
Pengertian Sumber Hukum
Sumber
hukum ialah “asal mulanya hukum” segala sesuatu yang dapat menimbulkan
aturan-aturan hukum sehingga mempunyai kekuatan mengikat. Yang di maksud
“segala sesuatu” tersebut adalah faktor-faktor yang mempengaruhi terhadap
timbulnya hukum, darimana hukum ditemukan atau dari mana berasalnya isi norma
hukum.
Sumber
hukum pada hakikatnya dapat dibedakan ada 2 (dua) macam, yakni sumber hukum
material dan sumber hukum formal (Algra), dan (Utracht). Dan menurut Achmad Sanoesi sumber hukum terdiri dari
dua kelompok yaitu sumber hukum normal dan sumber hukum abnormal. L.J. van
Apeldoorn menyatakan bahwa perkataan sumber hukum dipakai dalam arti sejarah,
kemasyarakatan, filsafat, dan arti formal. Dengan demikian, dapatlah
dirumuskan, sumber hukum adalah sesuatu yang menimbulkan aturan yang mengikat
dan memaksa, sehingga apabila aturan itu dilanggar akan menimbulkan sanksi yang
tegas dan nyata bagi pelanggarnya.
B. Sumber Hukum Material
Sumber
hukum material adalah faktor-faktor yang menentukan kaidah hukum, tempat
darimana berasalnya isi hukum, atau faktor-faktor yang menentukan isi hukum
yang berlaku. Faktor-faktor yang menentukan isi hukum dapat dikelompokan atas
“faktor ideal (filosofis), faktor sejarah (historis), dan faktor kemasyarakatan
(sosiologis).
Faktor
ideal (filosofis) adalah pedoman-pedoman hidup yang tetap mengenai nilai-nilai
etika dan keadilan yang harus dipatuhi oleh para pembentuk undang-undang
ataupun oleh lembaga-lembaga pelaksana hukum dalam melaksanakan tugasnya.
Faktor sejarah (historis) adalah tempat hukum dari sejatah kehidupan, tumbuh
kembangnya suatu bangsa dimasa lalu, misalnya hukum dalam piagam-piagam,
dokumen, manuskrip kuno, code Napoleon, BW, WvK, dan WvS.
Faktor
kemasyarakatan (sosiologis) adalah hal-hal yang nyata hidup dalam masyarakat
yang tunduk pada aturan-aturan tata kehidupan masyarakat. Faktor-faktor
kemasyarakatan yang mempengaruhi pembentukan hukum adalah:
1. Kebiasaan
atau adat istiadat yang telah mentradisi terus berkembang dalam masyarakat yang
ditaati sebagai aturan tingkah laku tetap.
2. Keyakinan
tentang agama/kepercayaan dan kesusilaan.
3. Kesadaran
hukum, perasaan hukum dan keyakinan hukum dalam masyarakat.
4. Tata
hukum negara-negar lain, misalnya materi hukum perdata, hukum dagang, hukum
perdata internasional diambil dari negara-negara yang lebih maju.
5. Sumber
hukum formal, yang sudah ada sekarang ini dapat dijadikan bahan untuk
menentukan isi hukum yang akan datang (ius
constituendum).
Menurut
Utrecht, sumber hukum material adalah perasaan hukum (keyakinan hukum) individu
dan pendapat umum (publik opinion) yang
menjadi determinan material pembentuk hukum yang menentukan isi kaidah hukum.
C. Sumber Hukum Formal
Sumber
hukum formal adalah tempat dari mana dapat ditemukan atau diperoleh
aturan-aturan hukum yang berlaku yang mempunyai kekuatan mengikat masyarakat
dan pemerintah sehingga ditaati. Sumber hukum formal (van Apeldoorn) adalah
dari mana timbulnya hukum yang berlaku (yang mengikat hakim dan penduduk).
a. Sumber
Hukum Formal Tertulis
Bentuk sumber-sumber formal yang tertulis ialah
undang-undang, kebiasaan/adat, yurisprudensi, traktat (teaty), dan doktrin hukum (pendapat atau ajaran ahli hukum).
1.
Undang-Undang
Undang-undang
dapat dibedakan dalam undang-undang dalam arti materil dan undang-undang dalam
arti formal.
Undang-undang
dalam arti materiel adalah keputusan penguasa yang dilihat dari segi
isinya mempunyai kekuatan mengikat umum.
Undang-undang
dalam arti formal adalah keputusan peguasa yang diberi nama undang-undang
disebabkan bentuk yang menjadikannya undang-undang. Di Indonesia undang-undang
dalam arti formal ditetapkan oleh presiden dengan perseujuan Dewan Perwakilan
Rakyat ( pasal 5 ayat 1 ).
Biasanya
undang-undang dalam arti formal memuat ketentuan yang mengikat umum, dengan
demikian undang-undang ini pada umumnya merupakan juga undang-undang dalam arti
materiel.
Contoh
undang-undang dalam arti formal yang bukan undang-undang dalam arti materiel,
misalnya : undang-undang tentang APBN ( pasal 23 (1) UUD 1945 ), undang-undang
kewarganegaan (undang-undang No. 62 ttahun 1985 ) ( Naturalisasi ).
Selanjutnya
undang-undang dapat pula dibedakan dalam : undang-undang tingkat atasan dan
undang-undang tingkat bawahan. Jadi disini dikenal hierarki undang-undang yang
susunannya adalah sebagai berikut :
1.
Undang-undang
dalam arti formal.
2.
Ketentuan umum dibidang
tata-pemerintahan atau sering kali disebut peraturan tingkat pusat.
3.
Peraturan-peraturan daerah ( daerah
tingakat I dan daerah tingkat II ).
4.
Peraturan kota madya.
2.
Hukum
Traktat ( Perjanjian Internasional )
Hukum traktat
adalah perjanjian yang dibuat antar Negara yang di tuangkan dalam bentuk
tertentu. Negara-negara juga bisa membuat perjanjian dengan Negara lain tanpa
perlu
adanya traktat, misalnya hanya dengan perlu pertukaran nota atau surat biasa.
Meskipun demikian dari segi jurudis surat-surat seperti itu sama dengan traktat.
Perjanjian antar
Negara sering juga dinamakan konvensi, agreement dan lain-lain, yang penamaan itu diberikan berhubung
dengan isinya.
Prof. DR.
Mochtar Kusuma
Atmadja SH, LLM. Mengemukakan bahwa salah satu kesulitan yang sering dijumpai
dalam mempelajari masalah perjanjian ini adalah banyak istilah yang digunakan (
pengantar hukum internasional, hal 110. ) Cara terjadinya “Traktat” diatur oleh hukum internasional dan syarat
pembentukannya terdiri atas :
a.
Perundingan;
b.
Penutupan;
c.
Pengesahan dan
d.
Pertukaran
piagam-piagam.
Selanjutnya
tergantung dari hukum tata Negara masing-masing Negara yang bersangkutan
mengenai badan-badan yang mana yang berwenang untuk menyelesaikan terjadinya
suatu traktat.
·
Perundingan
Diperlukan
untuk persiapan ada 2 macam yakni :
Traktat
bilateral dipersiapkan dengan perundingan langsung
yang dapat terjadi secara lisan atau tertulis bahkan dengan cara telegrafis.
Traktat
kolektif dapat dipersiapkan dengan cara yang sama dengan Traktat bilateral jadi Negara yang
bersangkutan mengirim utusannya masing-masing kemudian berunding.
·
Penutupan
Apabila para utusan Negara yang
mengadakan perundingan telah mencapai persetujuan, maka traktat itu ditutup,
artinya eks trakat tersebut
ditetapkan dalam satu piagam, dan disusun perpasal-pasal.
·
Pengesahan
·
Pertukaran piagam
Traktat
berlaku dan mengikat para pihak yang terlibat jika piagam pengesahan sudah
dipertukarkan diantara Negara-negara yang bersangkutan, untuk traktat kolektif
piagam itu digantikan dengan cara menyimpan piagam iu didalam sebuah arsip dari
salah satu Negara yang menanda tangani traktat itu berdasarkan persetujuan
bersama yang sebelumnya dinyatakan dalam trakat.
Di Indonesia perjanjian internasional
dibuat oleh presiden dengan persetujuan dewan perwakilan rakyat (DPR).
3.
Putusan
Hakim ( Yurisprudensi )
Dalam
sistem common law, yurisprudensi diterjemahkan sebagai
suatu ilmu pengetahuan hukum positif dan hubungan-hubungannya dengan hukum
lain. Sedangkan dalam sistem statute law,
diterjemahkan sebagai putusan-putusan hakim terdahulu yang telah berkekuatan
hukum tetap dan diikuti oleh para hakim tahu badan peradilan lain
dalam memutuskan perkara atau kasus yang sama. (Simorangkir, 1987:78).
Menurut
Prof. Subekti, yang dimaksud dengan yurisprudensi adalah putusan-putusan hakim
atau pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap dibenarkan oleh Mahkamah
Agung sebagai pengadilan kasasi
atau putusan MA sendiri yang sudah berkekuatan hukum tetap. Tidak semua putusan
hakim dapat dikategorikan sebagai yurisprudensi, kecuali putusan tersebut sudah
melalui proses eksaminasi dan notasi MA dengan rekomendasi sebagai putusan yang
telah memenuhi standar hukum yurisprudensi.
4. Doktrin
(Pendapat)
Doktrin
Hukum adalah pendapat para ahli atau sarjana hukum ternama atau terkemuka.
Dalam yurisprudensi dapat dilihat bahwa hakim sering berpegangan pada pendapat
seorang atau beberapa sarjana hukum terkenal namanya. Pendapat para sarjana hukum itu
menjadi dasar keputusan-keputusan
yang akan diambil oleh seorang hakim dalam menyelesaikan suatu perkara.
Doktrin
adalah teori-teori yang disampaikan
oleh para sarjana hukum yang ternama yang mempunyai kekuasaan dan dijadikan
acuan bagi hakim untuk mengambil keputusan. Dalam penetapan apa yang akan
menjadi keputusan hakim, ia sering menyebut (mengutip) pendapat seseorang
sarjana hukum mengenai kasus yang harus diselesaikannya, apalagi jika sarjana
hukum itu menentukan
bagaimana seharusnya. Pendapat itu menjadi dasar keputusan hakim tersebut..
Pendapat
para sarjana hukum yang merupakan doktrin adalah sumber hukum. Ilmu hukum itu
sebagai sumber hukum, tapi bukan hukum karena tidak langsung mempunyai kekuatan
mengikat sebagaimana undang-undang ilmu hukum baru mengikat dan mempunyai
kekuatan hukum bila dijadika pertimbangan hukum dalam putusan pengadilan.
B. Bentuk
Hukum Formal yang Tidak Tertulis
1.
Hukum
Adat
Sudah dimaklumi
bahwa memahami arti hukum hanya berdasarkan definisi saja adalah sesuatu hal
yang mustahil mengingat
luasnya ruang lingkup hukum.
Isi dari hukum
berubah-ubah menurut waktu dan tempat, dengan kata lain orang hanya bisa
membedakannya dari ciri-ciri luarnya saja dan mengenal tatacara pelaksanaan
ketentuan hukum itu.
Hukum adat
merupakan serangkaian tingkah laku yang berulang kali dilakukan oleh seluruh
anggota masyarakat, berdasarkan kesadaran dan keyakinan bahwa tingkah laku itu
pantas. Dan hukum adat itu adalah keseluruhan atau tingkah laku yang “adat” dan
sekaligus dihukumkan pula.
Istilah hukum
adat sebagai hukum tidak tertulis secara resmi dalam undang-undang dasar
sementara ( pasal 32 jo. Pasal 43 ayat (4) ). Meskipun undang-undang dasar 1945
tidak secara tegas menyebut-nyebut mengenai hukum adat, namun berdasarkan pasal
II aturan peralihannya semua ketentuan mengenai hukum-hukum adat sebelum
berlakunya undang-undang dasar 1945 tetap berlaku.
Dalam tata hukum
hindia-belanda dikenal sebuah istilah “adat
rech”
yang lazimnya diterjemahkan hukum adat, hal mana ditinjau dari segi isinya sungguh
tidak tepat. Adat rech adalah keseluruhan
aturan tingkah laku yang berlaku bagi orang Indonesia asli/pribumi
dan orang timur asing yang mempunyai kekuatan memaksa dan tidak
dikodifikasikan.
Diatas telah
dikatakan bahwa hukum adat adalah hukum yang tidak tertulis demikian pula “adat rech” sekilas terlihat sama namun
sesungguhnya berbeda dan perbedaannya itu terletak pada hukum adat yakni hukum
adat itu tidak tertulis sedangkan ardatrech untuk sebagian meliputi pula hukum
yang tertulis atau tercatat ( beschreven
reht ).
Jadi didalam
hukum adat terlebih dahulu harus ada suatu perbuatan dan perbuatan tersebut
haruslah dilakukan secara berulang-ulang dan diikuti oleh masyarakat, dengan
kesadaran penuh bahwa memang perbuatan itu sesuai dengan pola sikap-hidup
bersama, barulah kebiasaan itu menjadi adat.
Namun demikian
adat-kebiasaan itu sendiri baru menjadi hukum adat jika dari pihak penguasa
atau pemerintah nya masing-masing seperti pembuat undang-undang, hakim, dan
sebagainya menghukumkan hukum itu menjadi hukum adat.
2. Kebiasaan
Kebiasaan
(Custom). Kebiasaan merupakan tindakan menurut pola tingkah laku yang tetep, ajeg, dan
normal di dalam suatu masyarakat atau komunitas hidup tertentu. Sebagai sebuah
perilaku yang tetap kebiasaan merupaan perilaku yang selalu berulang hingga
melahirkan satu keyakinan kesadaran bahwa hal itu patut dilakukan dan memiliki
kakuatan yang mengikat.
Tidak
semua kebiasaaan dapat menjadi sumber hukum, kebiasaan yang dapat menjadi
sumber hukum meniscayakan beberapa syarat :
a. Syarat
materiil adanya perbuatan tingkah laku yang dilakukan berulang-ulang.
b. Syarat
intelektual adanya keyakinan hukum dari masyarakat yang bersangkutan.
c. Adanya
akibat hukum apabila kebiasaan dilanggar.
D. Sumber
Hukum Normal
a.
Sumber
hukum normal yang langsung atas pengakuan undang-undang, yaitu:
1) Undang-undang
2) Perjanjian antarnegara
3) Kebiasaan
b.
Sumber
hukum normal yang tidak langsung atas pengakuan undang-undang, yaitu:
1) Perjanjan
2) Doktrin
3) Yurispudensi
c. Sumber
Hukum Abnormal
1) Proklamasi
2) Revolusi (Coup
D’etat)
Salah
satu sumber hukum yang tidak normal (abnormal) ialah revolusi atau Coup D’etat yaitu suatu tindakan dari
warga negara yang mengambil alih kekuasaan diluar cara-cara yang diatur dalam
konstitusi suatu negara.
d.
Penafsiran
Hukum
a.
Pengertian
Penafsiran Hukum
Penafsiran
(interpretasi) menurut Soedjono Dirdjosisworo, adalah menentukan arti
atau makna suatu teks atau bunyi pasal berdasar pada kaitannya. adapun R.
Soeroso menjelaskan bahwa penafsiran atau interpretasi ialah mencari dan
menetapkan pengertian atas dalil-dalil yang tercantum dalam undang-undang
sesuai dengan yang dikehendaki serta yang dimaksud oleh
pembuatan undang-undang.
Tujuan
pembuatan penafsiran undang-undang itu sendiri selalu untuk mementukan arti
yang sebenarnya dari putusan kehendak pembuat undang-undang, yaitu seperti yang tertulis
di dalam rumusan dari ketentusn pidana di dalam undang-undang.
Hakim berkewajiban untuk menafsirkan ketentuan pidana dengan setepat-tepatnya,
yakni apa yang sebenarnya dimaksud dengan rumusan mengenai ketentuan pidana
tersebut.
b.
Macam-macam
Penafsiran Hukum
1.
Penafsiran menurut tata
bahasa (grammaticale interpretatie), yaitu
memberikan arti kepada suatu istilah atau perkataan sesuai dengan taya bahas.
Misalnya jika perumusan berbunyi "pegawai negeri menerima suap", maka
subjek atau pelaku di sini adalah pegawai negeri, bukan barang siapa, atau
nahkoda.
2.
Penafsiran secara sistematis, yaitu apabila
suatu istilah atau perkataan dicantumkan dua kali dalam satu pasal, atau pada
undang-undang, maka penegertiannya harus sama pula. Misalnya pada pasal 302
KUHP dicantumkan dua kali istilah binatang, maka kepada kedua istilah itu harus
dibetikan pengertian yang sama.
3.
Penafsiran
mempertentangkan (argentum acontario),
yaitu menemukan kebalikan dari pengertian suatu istilah yang sedang dihadapi.
Misalnya kebalikan dari "tiada pidana tanpa kesalahan " adalah pidana hanya dijatuhlan kepada
seseorang yang padanya terdapat kesalahan.
4.
Penafsiran memperluas (extensieve interpretatie), yaitu
memperluas pengertian dari suatu istilah berbeda dengan pengertiannya yang
digunakan sehari-hari. Contoh aliran listrik ditafsirkan sebagai benda.
5.
Penafsiran mempersempit
(restrictieve interpretatie), yaitu mempersempit
penegertian dari suatu istilah. Contoh kerugian ditafsirkan tidak termasuk
kerugian yang "tidak berwujud", seperti sakit, cacat, dan sebagainya.
6.
Penafsiran historis (rech/wets-historis), yaitu mempelajari
sejarah yang berkaitan atau mempelajari pembuatan undang-undang yang bersangkutan akan ditemukan
pengertian dari sesuatu istilah yang dihadapi. Contoh seseorang yang melanggar
hukum atau melakukan tindak pidana dihukum denda Rp 250,00 denda sebesar itu
ditetapkan saat
ini jelas tidak sesuai maka harus ditafsirkan sesuai dengan keadaan harga saat
ini.
7.
Penafsiran teleologis, yaitu mencari
tujuan atau maksud dari suatu peraturan undang-undang. Misalnya tujuan dari
pembentukan Mahkamah Militer Luar Biasa (Mahmillub), Undang-undang No.16
PnpsTahun 1963, ialah untuk mempercepat proses penyelesaian suatu perkara
khusus.
8.
Penafsiran logis, yaitu
mencari pengertian dari suatu istilah atau ketentuan berdasarkan hal-hal yang
masuk akal. Cara ini tidak banyak digunakan.
9.
Penafsiran analogi, yaitu
memeperluas cakupan atau pengertian
dari ketentuan undang-undang. Contoh, istilah menyambung listrik dianggap sama
dengan mengambil aliran listrik.
10.
Penafsiran futuristis,
yaitu penafsiran dengan penjelasan undang-undang dengan berpedoman pada Undang-undang yang belum
mempunyai kekuatan hukum, yaitu rancangan undang-undang.
11.
Penafsiran komparatif,
yaitu penafsiran dengan cara membandingkan dengan penjelasan berdasarkan
perbandingan
hukum, agar dapat ditemukan kejelasan suatu ketentuan undang-undang.
12.
Penafsiran
Autentik (resmi), yaitu penafsiran resmi yang diberikan oleh pembuat
undang-undang. Misalnya:Pada pasal 98 KUHP ; ”malam” berarti waktu antara
matahari terbenam dan matahari terbit ,dan pasal 97 KUHP : Hari adalah waktu
selama 24 jam dan yang di maksud dengan bulan adalah waktu selama 30 hari.
13.
Penafsiran
Nasional, yaitu penafsiran yang menilik sesuai tidaknya dengan sistem hukum
yang berlaku. Misalnya : Hak milik Pasaal 570 KUHS sekarang harus ditafsirkan
menurut hak milik sistem hukum Indonesia.
DAFTAR
PUSTAKA
Asikin, zainal. Pengantar
ilmu hukum. 2012. Jakarta: Raja Grafindo Persada
Apeldoorn, Van. Pengantar
Ilmu Hukum, 1985. Jakarta : Pradnya Paramia
CST Kanzil,Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Indonesia.
1990 ,Jakarta: Pradnya Paramita,
Hariri, wawan mukhwan. Pengantar ilmu hukum. 2012. Bandung: Pustaka Setia
Ishaq. Dasar-dasar
Ilmu Hukum. 2008. Jakarta: Sinar Grafika
R.Soeroso,Pengantar Ilmu Hukum,Jakarta :Rajawali Press,2001
Sanoesi, Achmad. Pengantar Ilmu Hukum
dan Tata Hukum Indonesia. 1977. Bandung : Tarsito
Soedjono Dirdjosisworo, Pengantar Ilmu Hukum, 1994. Jakarta : Raja Grapindo
Persada
Soemardi, dedi. Sumber-sumber
hukum positif. 1980. Bandung: Alumni
Sugiarto,
said umar. Pengantar Hukum Indonesia.
2013. Jakarta: Sinar Grafika
Tidak ada komentar:
Posting Komentar