Sabtu, 14 Februari 2015

Makalah Etika Administrasi Negara


Etika Administrasi dalam Praktik

BAB I
PENDAHULUAN

  1. Latar Belakang
Konsep-konsep tentang nilai moral dan etika dalam administrasi pemerintahan dirumuskan untuk diterapkan dalam kehidupan kenegaraan dan lingkup administrasi yang sesungguhnya. Kemanfaatan konsepsi etika tersebut hanya akan terasa apabila ia benar-benar dapat menjadi bagian dari dinamika administrasi modern. Dalam banyak hal, konsep dan teori filosofis mengenai moralitas dalam bidang administrasi negara itu juga berasal dari praktek adinistrasi sehari-hari. Oleh sebab itu, pembahasan mengenai etika administrasi negara tidak berada dalam ruang hampa, ia harus selalu menyertakan pembahasan tentang aplikasinya, bagaimana para birokrat dan administrator bertindak atau harus bertindak menurut kaidah-kaidah etis yang ada.
Begitu banyak teori maupun konsep yang membahas tentang kaidah normative yang terdapat diantara penguasa negara. Demikian pula konsep-konsep seperti keailan, kedaulatan rakyat, kepentingan umum, norma-norma dan sebagainya. Namun terkadang uraian yang terdapat di dalamnya sangat abstrak sehingga sulit dipahami.

  1. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang diatas maka rumusan masalahnya adalah sebagai berikut :
1.      Apa saja Asas-asas Umum Birokrasi Pemerintahan yang Baik?
2.      Bagaimana Kode Etik  Dalam Pelaksanaan Administrasi Negara?
3.      Bagaimana Kearifan Dalam Kebijakan?
4.      Bagaimana Administrasi dan Nilai-Nilai Yudisial Norma Pengawasan?

  1. Tujuan Penulisan
Pembuatan makalah ini bertujuan agar kita mengetahui tentang:
1.      Asas Asas Umum Birokrasi Pemerintahan yang Baik.
2.      Kode Etik  Dalam Pelaksanaan Administrasi Negara.
3.      Kearifan Dalam Kebijakan.
4.      Administrasi dan Nilai-Nilai Yudisial Norma Pengawasan.

  1. Metode Penulisan
Di dalam karya tulis ini, metode yang akan digunakan penulis dalam penulisannya adalah sebagai berikut :
  1. Metode literature study, yaitu metode yang dilakukan dengan cara membaca buku-buku yang berhubungan dengan materi pembahasan, kemudian mengkaji dan mengambil materi yang dibutuhkan.
  2. Metode deskriptif, yaitu metode yang bertujuan menjelaskan dan menggambarkan pemecahan masalah yang ada pada masa sekarang.

BAB II
PEMBAHASAN

Konsep konsep tentang nilai moral dan etika dalam administrasi negara haruslah diterapkan oleh para birokrat dan administrator dalam bertindak menurut kaidah kaidah  etis yang ada, sehingga pembahasan Etika Administrasi Negara tidak hanya berada dalam ruang hampa belaka walaupun dalam banyak hal, konsep dan teori itu juga berasal dari praktek administrasi sehari hari. Unsur unsur administrasi negara bukan hanya pejabat pejabat yang memiliki otoritas membuat keputusan strategis tetapi juga aparat aparat teknis.

  1. Asas Asas Umum Birokrasi Pemerintahan yang Baik
Setiap negara memiliki konteks budaya yang berbeda beda, kebutuhan masyarakat pada suatu waktu yang selalu berubah, dan masalah yang dihadapi oleh setiap negara pun berlainan,[1] sehingga merumuskan asas umum pemerintahan yang baik ke dalam satu kata adalah upaya yang sulit. Pada era pemerintahan orde lama, pemerintah memang telah berhasil meletakkan dasar dasar nasilonalisme rakyat untuk melawan setiap upaya bangsa asing untuk menjajah Indonesia.
Pada pemerintahan orde baru, pemerintah memang telah berhasil melaksanakan pembangunan kemakmuran ekonomis dan stabilitas nasional melalui program program yang pragmatis, namun orang mulai berpikir bahwa kemakmuran materi bukan satu satunya tujuan yang harus dicapai. Tampaklah bahwa perkembangan situasi politik, sosial dan budaya serta dinamika masyarakat turut mempengaruhi opini masyarakat tentang sistem administrasi pemerintahan yang ideal, akan tetapi sesungguhnya masih dapat ditemukan dasar dasar bagi sistem pemerintahan yang baik yang mana landasan pemikiran yang  disepakati oleh sebaigian masyarakat akan dapat dijadikan sebagai pedoman.[2]

  1. Prinsip Demokrasi
Pilar utama prinsip demokrasi adalah asas kedaulatan rakyat. Asas kedaulatan rakyat mensyaratkan bahwa rakyatlah yang mempunyai kekuasaan tertinggi dalam pemerintahan negara, rakyat yang menentukan pula bagaimana berbuatnya.[3] Pada tataran makro, sistem pemerintahan demokratis suatu negara dapat di golongkan ke dalam tiga macam bentuk yakni:
1. Sistem parlementer
2. Sistem pemisahan kekuasaan
3. Sistem referendum
Sistem parlementer, hubungan antara lembaga perwakilan dan lembaga yang menjalankan kekuasaan eksekutif dapat saling mempengaruhi, jika lembaga perwakilan tidak mau membenarkan kebijakan yang dilakukan oleh lembaga eksekutif maka dia dapat menyatakan ketidak percayaannya dalam bentuk mosi tidak percaya, sebaliknya pemerintah juga mempunyai hak untuk membubarkan lembaga perwakilan atau parlemen apabila ternyata parlemen tidak lagi mencerminkan kehendak rakyat.
Sistem pemisahan kekuasaan, antara lembaga legislatif, eksekutif dan yudikatif masing masing harus ada pemisahan secara penuh. hal ini dilakukan karena dikhawatirkan apabila satu lembaga mempunyai dua atau lebih kekuasaan akan ada penyalahgunaan kekuasaan tersebut.
Sistem referendum, secara harfiah berarti pemungutan suara secara langsung oleh rakyat untuk menentukan pendapat umum rakyat, dapat pula diartikan sebagai lembaga yang dibentuk untuk memberikan kesempatan kepada rakyat guna mengontrol tindakan tindakan lembaga perwakilan secara langsung oleh rakyat. sedangkan lembaga eksekutif hanya merupakan badan pekerja bagi lembaga perwakilan.

  1. Keadilan Sosial dan Pemerataan
Persoalan keadilan sosial dan pemerataan sering kali muncul sebagai akibat dari kurang meratanya distribusi hasil hasil pembangunan. Oleh sebab itu, salah satu asas umum pemerintahan dan administrasi pembangunan yang perlu mendapat perhatian lebih besar sekarang ini adalah yang menyangkut keadilan (equity) dan pemerataan (even distribution/fair distribution). Kedua konsep ini juga merupakan landasan pokok bagi etika pembangunan.
Dalam lingkup negara, setidak tidaknya ada dua dimensi ketimpangan diantara kelompok kelompok sosial yang berbeda dalam suatu negara. Pertama, ketimpangan diantara kelompok kelompok sosial yang berbeda dalam suatu negara yang disebabkan oleh kesenjangan antara kelompok kaya dan kelompok miskin. Kedua, ketimpangan antara wilayah wilayah geografis dalam suatu negara atau disebut juga ketimpangan regional. wujud yang paling nyata terlihat antara wilayah wilayah pedesaan dan perkotaan. maka yang perlu dilakukan adalah kebijakan kebijakan pemerintah yang lebih menyentuh kelas masyarakat yang kurang beruntung atau kelompok yang tidak memiliki sumber daya untuk mengembangkan dirinya.

           c.       Mengusahakan Kesejahteraan Umum
Setiap pejabat pemerintah harus memiliki komitmen dan untuk peningkatan kesejahteraan dan bukan semata mata karena diberi amanat atau dibayar oleh negara melainkan karena mempunyai perhatian yang tulus terhadap kesejahteraan warga negara pada umumnya. Peningkatan kesejahteraan umum bukan hanya dimaksudkan untukl meningkatkan taraf hidup dan kebutuhan kebutuhan dasar tetapi juga untuk meningkatkan kapasitas individual supaya rakyat dapat berpartisipasi lebih aktif dalam pembangunan.
Persoalan lain yang harus dipecahkan dalam upaya peningkatan kesejahteraan umum adalah menyangkut ketenagakerjaan dan kependudukan. tingkat pengangguran dan atau setengah pengangguran itu lebih mencolok di daerah daerah pedesaan jika dibandingkan dengan daerah perkotaan. ini menunjukkan adanya konsentrasi industri padat modal di wilayah perkotaan.

  1. Mewujudkan Negara Hukum
Di dalam Pembukaan maupun pasal pasal batang tubuh Undang Undang Dasar 1945 memang tidak disebutkan secara eksplisit bahwa indonesia adalah Negara Hukum. akan tetapi sesungguhnya gagasan utama dan aturan aturan dasar yang melandasi terbentuknya republik ini adalah sesuai dengan cita cita negara hukum. dalam penjelasan mengenai sistem pemerintahan negara telah di tegaskan:
1.      Indonesia ialah negara yang berdasar atas hukum (rehtsstaat). Negara Indonesia berdasar atas hukum (rehtsstaat), tidak berdasarkan atas kekuasaan belaka (machtsstaat).
2.      Sistem Konstitusional. Pemerintah berdasar atas sistem konstitusi (hukum dasar), tidak bersifat absolutisme (kekuasaan yang tidak terbatas).

Jadi jelas bahwa konstitusi negara Indonesia mengamanatkan keinginan untuk mewujudkan negara hukum. hukum harus yang harus ditaati disini bukan hanya hukum positif yang tertulis atau hukum formal saja tetapi juga unsur unsur material yang terdapat dibalik perundang undangan yang ada. hukum yang dimaksud adalah hukum yang benar benar hidup dalam masyarakat (living law) atau hukum yang adil (just law). Di dalam konteks etika, kita hendaknya lebih mencurahkan perhatian kepada rasa keadilan (justice) atau kepantasan yang berkembang di dalam masyarakat dari pada hukum (law) yang terjabar di dalam pasal pasal kitab perundangan. konsepsi negara hukum mensyaratkan agar setiap tindakan penguasa harus sesuai dan didasarkan atas rasa keadilan, moralitas hukum, dan cita cita kemanusiaan yang luhur, bukan hanya didasarkan atas kemauan penguasa.

Unsur unsur Rule of Law
  1. Keutamaan aturan aturan hukum (supremacy of law), tidak adanya kekuasaan yang sewenang wenang (absence of arbitrary power) dalam arti bahwa seseorang hanya boleh dihukum kalau memang melanggar hukum.
  2. Kedudukan yang sama dihadapan hukum (equality before the law). Dalil ini berlaku baik untuk orang biasa maupun pejabat.
  3. Terjaminnya hak hak asasi manusia (human rights) oleh undang undang dasar serta keputusan keputusan pengadilan.
Selanjutnya unsur – unsure Rule of Law ini dapat dijabarkan ke dalam gagasan gagasan yang lebih elementer. Apabila system pemerintahan dapat melaksanakan konsep konsep yang terdapat dalam idealisme Negara hukum, maka kontrol sosial  akan dapat berjalan dengan sendirinya.

  1. Dinamika dan Efisiensi
Untuk menciptakan sosok birokrasi pemerintahan yang responsif terhadap kebutuhan kebutuhan dan aspirasi masyarakat, dinamika dalam melaksanakan tugas tugas negara merupakan prasyarat yang tidak boleh dilupakan. Dinamika hendaknya diartikan sebagai kemampuan adaptasi organisasi yang baik sehingga ia sanggup mengantisipasi perubahan perubahan yang terjadi dalam masyarakat dan dapat menelorkan kebijakan kebijakan yang tepat.
Ukuran lain yang dapat dipergunakan untuk menilai kualitas birokrasi pemerintahan adalah tingkat efisiensi. Pada umumnya efisiensi diartikan sebagai nisbah yang terbaik antara hasil yang diperoleh dengan kegiatan yang dilakukan. Namun efisiensi dalam sektor publik mempunyai matra yang lebih luas dari pengertian ini. Yang lebih penting lagi efisiensi harus menjadi perhatian utama bagi aparat organisasi organisasi publik.
Knott dan Miller mengingatkan adanya empat macam persolan yang sering terdapat di dalam birokrasi pemerintahan yaitu :
a)      Daur kekakuan aturan (Rigidity Cycle)
Birokrat sering ragu ragu untuk bertindak karena sistem senioritas dan aturan yang kaku.
b)      Pengalihan sasaran (Goal Displacement)
Sasaran atau tujuan organisasi sering bergeser, bukan untuk melaksanakan layanan umum secara efisien melainkan sekedar untuk melestarikan aturan aturan yang ada.
c)      Kurangnya “kapasitas” personil yang terlatih (Skilled Incapacity)
Yang dimaksud kapasitas disini  adalah kemampuan personil untuk melihat tugas tugasnya dalam rangka proses organisasi secara keseluruhan.
d)     Sistem kewenangan berganda (Dual System of Authority)
Adanya perbenturan dua kewenangan yatitu kewanangan struktural dan kewenangan fungsional.
Masalah masalah seperti diataslah yang harus menjadi perhatian para pejabat birokrasi pemerintahan dalam rangka menciptakan adaministrasi yang efisien. Bagaimanapun juga efisiensi tetap merupakan salah satu sendi utama dalam menilai sistem pemerintahan yang baik.
Demikianlah asas asas pokok pemerintahan yang dapat digunakan untuk menilai legitimasi kekuasaan birokrasi pemerintahan terhadap warga negara. Asas asas ini hendaknya dijadikan pedoman oleh para birokrat dalam menjalankan tugas tugasnya.
Berikut ini adalah asas asas umum yang berasal dari pemikiran dan praktek adminisrasi di negara belanda :
1.      Asas kepastian hukum (principle of legal security)
2.      Asas keseimbangan (pronciple of proportionality)
3.      Asas kesamaan dalam mengambil keputusan (principle of equality)
4.      Asas bertindak cermat (principle of carefulness)
5.      Asas motivasi untuk setiap keputusan (principle of motivation)
6.      Asas tidak mencampuradukkan kewenangan (principle of misuse of competence)
7.      Asas permainan yang layak (principle of fair play)
8.      Asas keadilan dan kewajaran (principle of reaonable or prihibition of arbitratiness)
9.      Asas menanggapi penghargaan yang wajar (principle of meeting raised expectation)
10.  Asas meniadakan akibat suatu keputusan yang batal (principle of undoing the consequencies of annuled decision)
11.  Asas perlindungan atas pandangan/cara hidup pribadi (principle of protecting the personal way of life)
12.  Asas kebijaksanaan (sapientia)
13.  Asas penyelenggaraan kepentingan umum (principle of public service)
Tampaklah bahwa ketiga belas asas ini lebih menitik beratkan kepada nilai nilai judisial (judiciary values) yang mengandaikan internalisasi rasa keadilan masyarakat dalam proses administrasi pemerintahan serta pendayagunaan jajaran kehakiman dalam menangani masialah masalah atau sengketa administratif.[4]

  1. Administrasi dan Nilai-Nilai Yudisial Norma Pengawasan
Pembuatan keputusan merupakan penopang utama kegiatan administrasi. Sebagian besar proses administrasi berupa serangkaian pemilihan alternatif tindakan atau pengambilan keputuasn. Waktu yang tersedia untuk mempertimbangkan keputusan-keputusan tersebut seringkali sangat sempit karena permasalahan yang ada mebutuhkan penaganan segera. Sementara itu pertimbangan efesiensi terkadang tidak memungkinkan bagi para pejabat pemerintah untuk berlama-lama memikirkan akibat dari suatu keputusan atau mencari landasan legalitas dari kebijakan-kebijakan yang dibuatnya. Karena itulah para pejabat pemerintah dituntut untuk mampu menjawab persoalan-persoalan secara pragmatis.
Untuk membuat keputusan haruslah dilaksanakan dengan hasil pertimbangan yang baik dan tidak merugikan kedua belah sisi, baik Pemerintah maupun Masyarakat. Karena hasil dari keputusan tidak jarang membawa keributan ataupun demo-demo dari kalangan masyarakat yang tidak terima dengan keputusan dari pemerintah tersebut. Sebagai contoh kenaikan harga bahan bakar minyak atau ditariknya subsidi oleh pemerintah yang berdampak pada kenaikan harga barang dipasaran.
Pembuatan keputusan merupakan penopang utama kegiatan administrasi. Waktu yang tersedia untuk mempertimbangkan keputusan-keputusan tersebut seringkali sangat sempit karena permasalahan yang ada membutuhkan penanganan segera. Pertimbangan lain untuk mengambil keputusan-keputusan pragmatis ialah kenyataan bahwa rumusan-rumusan legal yang ada acapkali tidak mampu menjawab situasi permasalahan yang tengah dihadapi.
Perkembangan sistem ketatanegaraan diseluruh dunia selama setengah abad terakhir menunjukan meluasnya pengakuan atas hak-hak rakyat. Pernyataan-pernyataan tentang hak asasi itu antara lain meliputi kebebasan untuk berbicara dan berkumpul, hak hidup dan hak milik, serta hak atas perlindungan yang sama. Ada dua manfaat yang dapat ditarik dari keterlibatan lembaga-lembaga peradilan tersebut. Pertama tentu saja adalah terlindunginya kepentingan-kepentingan rakyat, terutama pihak warga Negara yang kedudukannya lemah. Kedua adalah manfaat yang diperoleh dari reformasi yang berkesinambungan atas tata kerja dalam institusi-institusi public serta cara-cara dalam pengambilan kebijakan oleh aparat-aparatnya. Kemudian perkembangan signifikan yang ke tiga ialah ekspansi tanggung jawab legal bagi administrator publik.
Hak-hak individu konstitusional yang seharusnya diperhatikan dan diakui oleh aparatur pemerintah justru dilanggar, dan tanggung jawab administrator public terhadap kesejahteraan umum menjadi luntur. Maka dalam rangka menciptakan sistem administrasi yang tertib dan bersih kerja sama antara lembaga-lembaga kehakiman dengan lembaga-lembaga administratif sangat penting peranannya. Beberapa model dapat diajukan untuk melihat kemungkinan penerapannya dimasa mendatang:
  1. Penguasaan (coping): Ketegangan antara kekuasaan kehakiman dan kekuasaan administrative mungkin tan pernah berakhir.
  2. Konvergensi: Mengasumsikan bahwa interaksi antara aparat kehakiman dan administrator public akan menghasilkan harmoni.
  3. Kemunduran judicial (judicial withdrawal): Sebagian kritikus, akademisi dan praktisi tetap mengecam campur tangan atau intervensi yang berlebihan para jaksa dan hakim dalam administrasi Negara.
  4. Perluasan hak (expanding rights): Asumsi yang dipakai ialah bahwa kemungkinan jangka panjang untuk memperkuat dan memperluas hak-hak asai individual akan terus bertambah
  5. Kultur administrative baru (new administrative cultur): Kelima model interaksi masing-masing punya keunggulan dan kelemahan, dan kesemuanya punya peluang untuk diterapkan atau dikembangkan.
Untuk mengendalikan dan mengawasi pelaksanaan administrasi Negara secara judicial pemerintah bersama-sama dewan perwakilan telah mengesahkan undang-undang PTUN. Untuk menciptakan system administrasi pemerintahan yang tertif, mencegah kebocoran uang Negara, serta menjamin efektifitas dan efisiensi, lembaga-lembaga pemerintah harus memiliki pemeriksa yang berpotensi dan berkualitas tinggi. Dalam menjalankan tugas-tugas pengawasan, aparat juga harus memiliki sikap batin tertentu. Diantara kualitas batin tersebut adalah sikap sanksi (suspicious mind), ingin tahu lebih banyak (inquisitive mind), logis dan analitis (logical and analytical mind), dan akurat (accurate). Melalui Keputusan pemerintah No. 67 tahun 1980, misalnya telah diatur tentang kedudukan Badan Pertimbangan Kepegawaian bagi instansi-instasi pemerintah.[5]

           C.    Kearifan Dalam Kebijakan
Perkembangan konstelasi politik dan ekonomi di Indonesia selama beberapa dasawarsa terakhir menampakan tiga kecenderungan utama. Pertama, meningkatnya kemakmuran dengan semakin terpenuhinya kebutuhan ekonomi. Kedua, meluasnya kekuasaan birokrasi pada setiap jenjang administrasi pemerintah. Dan yang ketiga, meningkatnya kekuasaan politis peran para eksekutif berarti meningkat pula peranan birokrat dan administratior dalam penentuan kebijakan-kebijakan yang menyangkut masyarakat luas.
Pejabat yang arif menurut Kumorotomo adalah pejabat yang mampu menjaga supaya keputusan-keputusannya diterima oleh sebagian besar dengan landasan kebenaran yang hakiki. Tanggung jawab seorang pejabat pemerintah dengan demikian bukan hanya kepada organisasi yang dikelolanya atau kepada atasannya saja, tetapi juga kepada warga negara yang secara langsung ataupun tidak langsung terkena kebijakan yang diambilnya.
Kearifan dalam pengambilan kebijakan mutlak diperlukan, mengingat dewasa ini terdapat kecenderungan meningkatnya peran pejabat publik atau administrator pemerintahan dalam penentuan kebijakan-kebijakan yang menyangkut masyarakat luas. Disinilah arti penting kearifan, yang merupakan landasan etis bagi para aparatur pemerintah dalam mengeluarkan kebijakan guna mewujudkan kesejahteraan rakyat dan kemajuan bangsa.
Konsep kearifan menjadi bahan pertimbangan dalam melaksanakan penempatan atau mutasi sehingga akan meminimalisir timbulnya konflik yang berkepanjangan dan ketidaksepahaman, untuk bisa menjalankan proses pemerintahan yang baik dalam masa transisi dari sentralistik ke desentralisasi tidak semua kemauan Pejabat Publik langsung diterapkan tetapi perlu ada perenungan dan pertimbangan kearifan sehingga pemerintahan akan berjalan dengan baik.
Dalam membuat kebijakan, seorang pejabat dapat menggunakan interpretasinya terhadap gagasan tertentu, individu atau kelompok secara positif maupun negatif. Untuk menerapkan kekuasaan secara benar, mengelola sumber daya negara dengan tanggung jawab, menentukan alternatif keputusan secara objektif, dan menerapkan prosedur dengan baik, seorang pejabat harus memiliki kualitas pribadi yang prima. Bailey menguraikan tiga kualitas yang diperlukan bagi seorang pembuat kebijakan, yaitu sebagai berikut:
  1. Optimisme
Sifat ini hendaknya tidak ditafsirkan sebagai kesenangan untuk menganggap enteng semua masalah, tetapi suatu kecenderungan untuk berasumsi tentang kemungkinan untuk mendapatkan hasil-hasil yang positif. Ia mengandung keyakinan bahwa peluang untuk memecahkan persoalan yang selalu ada.
  1. Keberanian (Courage)
Sifat ini memerlukan kekuatan pribadi dan komitmen yang benar. Pembuat kebijakan harus berani menolak tekanan-tekanan yang tidak sah dari para politisi, pengaruh kelompok-kelompok kepentingan yang kuat, atau intimidasi dari para pakar dan orang-orang yang mengandalkan favoritisme.

          3.      Keadilan Yang Berwatak Kemurahan Hati
Bailey menggambarkan sifat ini sebagai kualitas moral yang paling penting bagi pejabat publik. Sifat ini menunjukkan kemampuan untuk menyeimbangkan komitmen atas orang atau kelompok sasaran dengan perlakuan baku yang sama serta suatu kepekaan atas perbedaan individual. Oleh karena itu, kearifan seorang pemimpin sangat dibutuhkan untuk menjadi perumus kebijakan yang baik. Kepekaan dan empati terhadap karena bagaimanapun juga pejabat publik harus melayani manusia, yang tentunya punya martabat, harga diri dan perasaan. Dalam melayani masyarakat umum, yang perlu selalu diperhatikan ialah ketentuan mengenai keadilan prosedural. Telah dikemukakan bahwa pelaksanaan keadilan prosedural. Keadilan proseduran mempersoalkan akses dan perlakuan (access and treatment).
Tindakan manusia merupakan hasil dari pilihan manusia. Pilihan-pilihan keputusan dibuat atas nama kehendak individu maupun kolektif dengan berlandaskan harapan atas masa depan dan perkiraan atas konsekuensi dan tindakan yang dilakukan sekarang. Namun untuk membuat keputusan-keputusan yang tepat seorang pejabat harus pula memiliki kapasitas intelektual yang memadai. Teori peilihan melihat pembuatan keputusan sebagai suatu tindakan yang disengaja yang berdasarkan empat hal yaitu:
  1. Pengetahuan tentang alternatif-alternatif tindakan
Pembuatan keputusan harus memahami sejumlah alternatif untuk bertindak. Alternatif-alternatif tersebut dirumuskan beradasarkan situasi dan dipahami sebagai sesuatu yang tidak mendua atau tidak menagndung ketaksaan (unam-biguosly).
  1. Pengetahuan tentang konsekuensi
Pembuatan keputusan memahami konsekuensi-konsekuensi dari tindakan-tindakan alternatif, atau setidak-tidaknya memiliki pegangan atas probabilitas keberhasilan atau kegagalan tindakan tersebut.

  1. Pengaturan preferensi yang konsisten
Pembuatan keputusan memiliki fungsi-fungsi objektif yang memungkinkan kensekuensi-konsekuensi dari alternatif tindakan dapat dibandingkan dengan nilai-nilai subjektif mereka.
  1. Aturan keputusan
Para pembuat keputusan harus memakai aturan-aturan untuk memilih sebuah alternatif tindakan berdasarkan konsekuensi dan pereferensi mereka. Dalam model pembuatan keputusan yang sempurna diasumsikan bahwa pembuat keputusan mengetahui setiap alternatif dari suatu keputusan, memahami masing-masing konsekuensinya, memiliki subjektif yang utuh tentang konsekuensi-konsekuensi tersebut, dan pemilihan keputusan dilakukan dengan menyeleksi alternatif yang mengandung nilai harapan tertinggi.
Para pejabat pembuat kebijakan hendaknya memiliki kemampuan untuk belajar dari kesalahan yang pernah dibuat dan melihat setiap permasalahan secara serius. Kearifan juga mengandungarti bahwa pembuat keputusan tidak bertindak gegabah dan menganggap ringan suatu persoalan.
Kearifan dalam mengambil kebijakan publik ditentukan pula oleh kesediaan aparat untuk tidak begitu saja mempercayai informasi yang datang dari satu pihak. Setiap persoalan, lebih-lebih yang menyangkut kepentingan masyarakat, perlu ditelusuri secara tuntas dengan segala konsekuensinya harus diantisipasi sebelum keputusan dijatuhkan. Pejabat hendaknya tidak berpegang pada laporan-laporan diatas kertas yang diberikan oleh bawahan. Dia perlu melihat tanggapan dari lembaga-lembaga yang lain, merujuk pada peraturan hukum yang ada, melihat pemberitaan pers tentang masalah yang bersangkutan, mencermati keluhan-keluhan warga masyarakat melalui rubrik-rubrik pembaca di surat kabar atau pengaduan-pengaduan langsung, dan akhirnya mengambil keputusan berdasarkan wawasan manejerial yang holistik.[6]

  1. Kode Etik  Dalam Pelaksanaan Administrasi Negara
Pembicaraan tentang kode etik bagi orang-orang yang bekerja dalam tugas-tugas administrasi negara barangkali membawa masalah tentang arti dari kode etik itu sendiri mengingat bahwa kode etik biasanya dikaitkan dengan suatu proses khusus. Akan tetapi seperti yang telah diuraikan kedudukan etika administrasi negara berada di antara etika profesi dan etika politik sehingga tugas-tugas administrasi negara tetap memerlukan perumusan kode etik yang dapat dijadikan sebagai pedoman bertindak bagi segenap aparat politik. Hal yang pertama-tama perlu diingat bahwa kode etik tidak membebankan sanksi hukum atau paksaan fisik. Kode etik dirumuskan dengan asumsi bahwa tanpa sanksi-sanki atau hukuman dari pihak luar, setiap orang tetap menaatinya.
Jadi dorongan untuk mematuhi perintah dan kendali untuk menjauhi larangan dari kode etik bukan dari sanksi fisik melainkan dari rasa kemanusiaan, harga diri, martabat, dan nilai-nilai filosofis. Kode etik adalah persetujuan bersama, yang timbul dari diri para anggota itu sendiri untuk lebih mengarahkan perkembangan mereka, sesuai dengan nilai-nilai ideal yang diharapkan. Dengn demikian pemakaian kode etik tidak terbatas pada organisasi-organisasi yang personalianya memiliki keahlian khusus. Pelaksanaan kode etik tidak terbatas pada kaum profesi karena sesungguhnya setiap pekerjaan  dan setiap jenjang keputusan mengandung konsekuensi moral.
Dalam kode etik itu bisa menjadi sarana untuk mendukung pencapaian tujuan organisasi kerena bagaimanapun juga organisasi hanya dapat meraih sasaran-sasaran akhirnya kalau setiap pegawai yang bekerja di dalamnya memiliki aktivitas dan perilaku yang baik.
Manfaat lain yang akan didapat dari perumusan kode etik ialah bahwa para aparat akan memiliki kesadaran moral atas kedudukan yang diperolehnya dari negara atas nama rakyat. Pejabat yang menaati norma-norma dalam kode etik akan menempatkan kewajibannya sebagai aparat pemerintah (incumbency obligation) diatas kepentingan-kepentingannya akan karir dan kedudukan. Pejabat tersebut akan melihat kedudukan sebagai alat, bukan sebagai tujuan. Oleh karena itu kode etik mengandaikan bahwa para pejabat publik dapat berperilaku sebagai pendukung nilai-nilai moral dan sekaligus pelaksana dari nilai-nilai tersebut dalam tindakan-tindakan yang nyata.
Sebagai aparat negara, para pejabat wajib menaati prosedur, tatakerja, dan peraturan-peraturan yang telah ditetapkan oleh organisasi pemerintah. Sabagai pelaksana kepentingan umum, para pejabat wajib mengutamakan aspirasi masyarakat dan peka terhadap kebutuhan-kebutuhan masyarakat tertentu. Dan  sebagai mansuia yang bermoral, pejabat harus memperhatikan nilai-nilai etis di dalam bertindak dan berperilaku. Dengan perkataan lain, seorang pejabat harus memiliki kewaspadaan spiritual. Kewaspadaan profesional bearti bahwa dia harus menaati kaidah-kaidah teknis dan peraturan-peraturan sehubungan dengan kedudukan sebagai seorang pembuat keputusan. Sedangkan kewaspadaan spiritual merujuk pada penerapan nilai-nilai kearifan, kejujuran, keuletan, sikap sederhana, dan hemat, tanggung jawab, serta akhlak dan perilaku yang baik.
Unsur-unsur etis yang langsung menyangkut pekerjaan sehari-hari seorang pegawai dapat dilihat dalam Peraturan Pemerintah No. 10 Tahun 1979 tentang Penilaian Pelaksanaan Pekerjaan Pegawai Negeri Sipil. Berikut ini diuraikan kedelapan unsur penilaian secara singkat:
  1. Kesetiaan
Kesetiaan disini adalah ketaatan, pengabdian dan kesetiaan kepada pancasila, UUD 1945, Negara, serta Pemerintah. Sedangkan yang dimaksud dengan pengabdian adalah penyumbangan pikiran dan tenaga secara ikhlas dengan mengutamakan kepentingan umum diatas kepentingan pribadi dan golongan. Kecuali dua pengertian ini ada pula konotasi kesetiaan yang berarti tekad dan kesanggupan untuk menaati, melaksanakan, mengamalkan sesuatu  yang disertai penuh kesadaran dan tanggung jawab.

  1. Prestasi kerja
Prestasi kerja adalah hasil kerja yang dicapai oleh seseorang pegawai dalam melaksanakan tugasnya. Faktor-faktor yang mempengaruhi prestasi kerja adalah: a) Kecakapan, b) Keterampilan, c) Pengalaman, d) Kesungguhan, e)      Kesehatan
  1. Tanggung jawab
Tanggung jawab berarti kesanggupan seorang pegawai untuk menyelesaikan  pekerjaan yang diserahkan kepadanya dengan sebaik-baiknya, tepat pada waktunya dan berani memikul resiko atas keputusan yang dibuatnya. Bagian-bagian dari tanggung jawab adalah:
a.       Menyelesaikan tugas dengan baik dan tepat pada waktunya
b.      Kesalahannya tidak dilemparkan pada orang lain
c.       Menyimpan dan memelihara barang milik negara
d.      Dalam segala keadaan tetap berada ditempat
e.       Mengutamakan kepentingan dinas
f.       Berani dan ihklas memikul resiko

  1. Ketaatan
Yaitu kesanggupan seorang pegawai untuk menaati segala peraturan perundang-undangan, peraturan kedinasan yang berlaku, pearaturan kedinasan dari atasan yang berwenang serta sanggup tidak melanggar larangan yang ditentukan. Bagian-bagian dari ketaatan adalah:
  1. Menaati peraturan kedinasan dari atasannya
  2. Menaati peraturan perundang-undangan yang ada
  3. Memberikan kepada masyarakat layanan sebaik-baiknya sesuai dengan bidang tugasnya
  4. Menaati ketentuan jam kerja dan sopan santun

  1. Kejujuran
Yang dimaksud dengan kejujuran adalah ketulusan hati dalam melaksanakan tugas serta kemampuan untuk tidak menyalahgunakan wewenang yang diberikan kepadanya. Maka kejujuran dapat dinilai dari keadaan berikut:
a.       Melaksanakan tugas secara ikhlas
b.      Tidak menyalah gunakan wewenangnya
c.       Hasil kerjanya dilaporkan sesuai dengan keadaan yang sebenarnya

  1. Kerjasama
Yang dimaksud disini adalah kemampuan seorang pegawai untuk bekerja bersama-sama dengan orang lain dalam menyelesaikan suatu tugas yang ditentukan sehingga mencapai daya guna dan hasil guna yang sebesar-besarnya. Jadi nilai kerja sama dapat diketahui bila seorang pegawai:
  1. Mengetahui bidang tugas orang lain yang ada hubungannya dengan tugas mereka
  2. Mampu menyesuaikan pendapatnya dengan pendapat orang lain yang diyakini besar
  3. Bersedia mengambil keputusan yang diambil secara sah
  4. Bersedia mempertimbangkan usul orang lain
  5. Mampu berkerja bersama-sama orang lain
  6. Menghargai pendapat orang lain

  1. Prakarsa
Inisiatif atau prakarsa adalah kemampuan seorang pegawai untuk mengambil keputusan, langkah-langkah serta melaksanakannya sesuai dengan tindakan yang diperlukan dalam pelaksanaan tugas pokok tanpa menunggu perintah dari atasan. Bagian-bagian dari prakarsa adalah:
  1. Berkemampuan memberi saran kepada atasan
  2. Berusaha mencari tatacara kerja baru yang baik
  3. Tanpa menunggu perintah, berkemauan melaksanakan tugas

  1. Kepemimpinan
Kepemimpinan berarti kemampuan seorang pegawai atau pejabat untuk meyakinkan orang lain sehingga dapat dikerahkan secara maksimal untuk melaksanakan tugas pokok. Jadi kepemimpinan merujuk kepada kemampuan manejerial dari para pegawai yang memiliki bawahan dan atau memangku jabatan. Bagian-bagian dari kepemimpinan adalah:
  1. Berusaha menggugah semangat dan menggerakkan bawahan
  2. Berusaha menumpuk dan mengembangkan kerja sama
  3. Mampu mengemukakan pendapatnya dengan jelas
  4. Bersedia mempertimbangkan saran-saran bawahan
  5. Memperhatikan nasib dan kemajuan bawahan
  6. Mengambil keputusan cepat dan tepat
  7. Mengetahui kemampuan bawahan
  8. Menguasai bidang tugasnya, bertindak tegas tanpa memihak, serta memberikan teladan yang baik.
Dari banyak uraian tentang nilai-nilai etika yang ditujukan untuk jajaran pegawai negeri, sangat terasa bahwa ungkapan-ungkapan yang dipergunakan begitu formal dan kaku. Uraian-uraian tersebut sebagian besar berisi daftar keharusan dan larangan tanpa ungkapan mengenai dasar-dasar mengapa suatu tindakan diharuskan atau dilarang dan tanpa nuansa yang menyentuh nurani.
Demikianlah, kode etik mencoba merumuskan nilai-nilai etis luhur kedalam bidang tertentu, dalam hal ini pada tugas-tugas administrasi negara. Sudah barang tentu kode etik sekedar merupakn pedoman betindak. Mengenai pelaksanaannya dalam perilaku nyata, tergantung kepada niat baik dan sentuhan moral yang ada dalam diri pegawai atau pejabat sendiri. Namun karena kode etik dirumuskan untuk penyempurnaan pekerjaan, mencegah hal-hal yang  buruk, dan untuk kepentingan bersama, maka setiap pegawai dan pejabat diharapkan menaatinya dengan kesadaran yang tulus.
Paham idealisme etik mengatakan bahwa pada dasarnya setiap manusia adalah baik dan suka hal-hal yang baik. Apabila ada orang-orang yang menyimpang dari kebaikan, itu semata-mata karena itu tidak tahu norma untuk bertindak dengan baik atau tidak tahu cara-cara bertindak yang menuju arah kebaikan. Yang diperlukan adalah suatu peringatan dan sentuhan nurani yang terus menerus untuk menggugah kesadaran moral dan melestarikan nilai-nilai tersebut dalam kehidupan dan interaksi antar individu.[7]



PENUTUP
Kesimpulan
·         Asas Asas Umum Birokrasi Pemerintahan yang Baik mengandung beberapa prinsip yaitu: Prinsip Demokrasi, Keadilan Sosial dan Pemerataan, Mengusahakan Kesejahteraan Umum, Mewujudkan Negara Hukum, Dinamika dan Efisiensi
·         Administrasi dan Nilai-Nilai Yudisial Norma Pengawasan
Untuk mengendalikan dan mengawasi pelaksanaan administrasi Negara secara judicial pemerintah bersama-sama dewan perwakilan telah mengesahkan undang-undang PTUN.
Dalam menjalankan tugas-tugas pengawasan, aparat juga harus memiliki sikap batin tertentu. Diantara kualitas batin tersebut adalah sikap sanksi (suspicious mind), ingin tahu lebih banyak (inquisitive mind), logis dan analitis (logical and analytical mind), dan akurat (accurate).
·         Kearifan Dalam Kebijakan
Kearifan dalam pengambilan kebijakan mutlak diperlukan, mengingat dewasa ini terdapat kecenderungan meningkatnya peran pejabat publik atau administrator pemerintahan dalam penentuan kebijakan-kebijakan yang menyangkut masyarakat luas. Disinilah arti penting kearifan, yang merupakan landasan etis bagi para aparatur pemerintah dalam mengeluarkan kebijakan guna mewujudkan kesejahteraan rakyat dan kemajuan bangsa.
·         Kode Etik  Dalam Pelaksanaan Administrasi Negara
Kode etik adalah persetujuan bersama, yang timbul dari diri para anggota itu sendiri untuk lebih mengarahkan perkembangan mereka, sesuai dengan nilai-nilai ideal yang diharapkan. Dengn demikian pemakaian kode etik tidak terbatas pada organisasi-organisasi yang personalianya memiliki keahlian khusus. Pelaksanaan kode etik tidak terbatas pada kaum profesi karena sesungguhnya setiap pekerjaan  dan


DAFTAR PUSTAKA

  1. Buku

Joeniarto. Demokrasi dan System Pemerintahan Negara. 1984. Jakarta:
Bina Aksara
Kumorotomo, Wahyudi. Etika Administrasi Negara. 2013. Jakarta:
Rajawali Pers





[1] Kumorotomo, Wahyudi. Etika Administrasi Negara. 2013. Jakarta:Rajawali Pers Hlm. 317
[2] Ibid, Hlm. 317-318
[3] Joeniarto, demokrasi dan system pemerintahan Negara, bina aksara, 1984, Jakarta. Hlm. 17
[4] Op. cit., hlm.319-342
[5] Ibid. hlm. 398-415
[6] Ibid. hlm. 371-388
[7] Ibid. hlm.342-360

1 komentar: