Perkembangan
Konstitusi dan Dinamika Hukum Tata Negara di Indonesia
A. Pengertian
Konstitusi
Istilah konsitusi
berasal dari bahasa Prancis, constituer.
Kata konstitusi berarti pembentukan yang berasal dari kata kerja, yaitu constituer (Prancis) yang berarti
membentuk. Dalam pengertian ini, hal yang dibentuk adalah negara. Dengan
demikian, konstitusi mengandung makna awal (permulaan) dari segala peraturan
perundang-udangan tentang negara. Pemakaian istilah konstitusi yang dimaksudkan
adalah pembentukan suatu negara atau menyusun dan menyatakan suatu negara.[3]
Konstitusi
(constitution = bahasa latin) dalam
negara adalah sebuah norma sistem politik dan hukum bentukan pada pemerintahan
negara-biasanya dikodifikasikan sebagai dokumen tertulis. Dalam kasus bentukan
negara, konstitusi memuat aturan dan prinsip-prinsip entitas politik dan hukum.
Istilah ini merujuk secara khusus untuk menetapkan konstitusi nasional sebagi
prinsip-prinsip dasar hukum, termasuk dalam bentukan struktur, prosedur, wewenang,
dan kewajiban pemerintahan negara pada umumnya. Konstitusi umumnya merujuk pada
penjaminan hak kepada warga masyarakatnya. Istilah konstitusi dapat diterapkan
pada seluruh hukum yang mendefinisikan fungsi pemerintahan negara. Konstitusi
pada umumnya bersifat kodifikasi, yaitu sebuah dokumen yang berisian
aturan-aturan untuk menjalankan suatu organisasi pemerintahan negara, namun
dalam pengertian ini, harus dimengerti bahwa tidak semua konstitusi berupa
dokumen tertulis (formal). Menurut para ahlu ilmu hukum ataupun ilmu politik,
konstitusi harus diterjemahkan ke dalam kesepakatan politik, negara, kekuasaan,
pengambilan keputusan, kebijakan, distribusi, dan alokasi. Konstitusi bagi
organisasi pemerintahan negara yang dimaksud memiliki beragam bentuk dan
kompleksitas strukturnya, terdapat konstitusi politik atau hukum, tetapi
mengandung pula arti konstitusi ekonomi.[4]
Wade
dalam bukunya yang berjudul Constitutional
Law mengatakan bahwa undang-undang dasar adalah naskah yang memaparkan
rangka dan tugas-tugas pokok dari badan pemerintah suatu negara dan menentukan
pokok-pokok cara kerja badan-badan tersebut. Jadi, pokok dasar dari sistem
pemerintahan diatur dalam suatu undang-undang dasar. Sama halnya dengan
Friedrich, ia mengatakan bahwa konstitutionalisme adalah gagasan bahwa
pemerintah merupakan suatu kumpulan kegiatan yang diselenggarakan oleh dan atas
nama rakyat, tetapi yang dikenakan beberapa pembatasan yang diharapkan akan
menjamin bahwa kekuasaan yang dipelukan untuk pemerintahan itu disalahgunakan oleh
mereka yang mendapat tugas memerintah.[5]
Mereka memandang sudut kekuasaan negara tersebut dalam segi legislatif,
eksekutif, dan yudikatif. Selanjutnya, Heller membagi konstitusi menjadi tiga,
yaitu die politische verassung als
gesellscgaftlich wirklichkei (konstitusi mencerminkan kehidupan politik di
dalam masyarakat sebagai suatu kenyataan; mengandung pengertian politik dan
sosiologis), dan die
verselbstandigterechtverfassung (konstitusi merupakan suatu kesatuan kaidah
yang hidup dalam masyarakat; mengandung pengertian yuridis), dan die geshereiben verfassung (konstitusi
yang tertulis dalam suatu naskah sebagai undang-undang yang tertinggi yang
berlaku dalam suatu negara).[6]Di
sini, konstitusi dipandang tidak hanya bersifat yuridis semata, tetapi juga mengandung
pengertian sosiologis dan politis.
Dewasa
ini, istilah konsitusi sering diidentifikasi dengan suatu kodifikasi terhadap
dokumen yang tertulis. Di Inggris, konstitusi yang dimiliki tidak dalam bentuk
kodifikasi, tetapi berdasarkan pada yurisprudensi dalam ketatanegaraan negara
Inggris. Konstitusi sebagai living
organism tentungya harus mampu menyesuaikan diri dengan kondisi dan
peubahan zaman.
Dalam
konteks ini, mengutip rekomendasi yang dihasilkan oleh Commonwealth Human Right Initiatives, terdaoat sebelas prinsip
pembuatan konstitusi yang terkait erat dengan partisipasi publik, yaitu
legitimasi, inklusivitas, pemberdayaan masyarakat sipil, keterbukaan dan
transparansi, aksesibilitas, pengkajian yang berkesinambungan, akuntabilitas,
pentingnya proses, peran partai politik, peran masyarakat sipil, dan peran para
pakar.
Menurut
Thompson, secaa sederhana pertanyaan what
is a constitution? Dapat dijawab bahwa “... a constitution is a document which contains the rules for the
operation of an organization”. Organisasi dimaksud beragam bentuk dan
kompleksitas strukturnya. Negara sebagai salah satu bentuk oganisasi pada
umumnya selalu memiliki naskah yang disebut sebagai konstitusi atau
undang-undang dasar. Hanya Inggis dan Israel saja yang sampai sekarang dikenal
tidak memiliki satu naskah tertulis yang disebut dengan undang-undang dasar.
Undang-undang dasar pada kedua negara ini tidak pernah dibuat, tetapi tumbuh
menjadi konstitusi dalam pengalaman praktik ketatanegaraan. Namun, para ahli
tetap dapat menyebut adanya konstitusi dalam konteks hukum tata negara Inggris.
Ciri
utama konstitusi adalah fleksibel.Hukum konstitusi adalah hukum kesepakatan
resmi tertinggi dan berlakunya suatu konstitusi sebagai hukum dasar yang
mengikat didasarkan pada kekuasaan tertinggi atau prinsip kedaulatan yang
dianut dalam suatu negara. Jika negara tersebut menganut paham kedaulatan
rakyat, maka sumber legitimasi konstitusi tersebut adalah rakyat. Jika yang
berlaku adalah paham kedaulatan raja, maka raja yang menentukan berlaku
tidaknya suatu konstitusi. Hal inilah yang disebut oleh paa ahli sebagai constituent power yang merupakan
kewenangan yang berada di luar dan sekaligus di atas sistem yang diaturnya.Oleh
karena itu, di lingkungan negara-negara demokrasi, rakyatlah yang dianggap
menentikan berlakunya suatu konstitusi.
Konstitusi
NRI adalah atas kedaulatan rakyat, demikian bunyi alinea keempat pembukaan UUD
1945.Constituent Power mendahului
konstitusi, sedangkan konstitusi mendahului organ pemerintahan yang diatur dan
dibentuk berdasarkan konstitusi. Pengertian Constituent
power berkaitan pula dengan hierarki hukum. Konstitusi merupakan hukum yang
lebih tinggi atau bahkan paling tinggi dan paling fundamental sifatnya karena
konstitusi tersebut sendiri merupakan sumber legitimasi atau landasan
autorisasi bentuk-bentuk hukum atau peraturan-peraturan perundang-undangan
lainnya. Sesuai dengan prinsip hukum yang berlaku universal, maka agar
peraturan-peraturan yang tingkatannya berada dibawah undang-undang dasar dapat
berlaku dan diberlakukan, pertaturan-peraturan tersebut tidak boleh
bertentangan dengan hukum yang lebih tinggi.
Pengertian
konstitusi selalu terkait dengan paham konstitusionalisme. Hamilton menyatakan
bahwa “Constitutionalism is the name given
to the trust which men repose in the power of words engrossed on parchment to
keep a goverment in order”. Untuk tujuan to keep a goverment in order tersebut diperlukan pengaturan yang
sedemikian rupa, sehingga dinamika kekuasaan dalam proses pemerintahan dapat
dibatasi dan dikendalikan sebagaimana mestinya. Gagasan mengatur dan membatasi
kekuasaan ini secara alamiah muncul karena adanya kebutuhan untuk merepon
perkembangan peran relatif kekuasaan umum dalam kehidupan umat manusia.
Istilah
konstitusionalisme pada zaman sekarang dianggap sebagai suatu konsep yang
niscaya bagi setiap negara modern. Seperti dikemukakan oleh C.J. Friedrich,
sebagaimana yang telah dikutip, “constitutionalism
is an institutionalized system of effective, regularied restraints upon
govermental action”. Basis pokoknya adalah kesepakatan umum atau
persetujuanm (consesnsus) di antara
mayoritas rakyat mengenai bangunan yang di idealkan berkenaan dengan negara.
Organisasi negara tersebut diperlukan oleh warga masyarakat politik agar kepentingan
mereka bersama dapat dilindungi atau dipromosikan melalui pembentukan dan
mekanisme yang disebut negara.
Pada
umumnya, kesepakatan yang menjamin tegaknya konstitusionalisme pada zaman
modern dipahami bersandar pada tiga elemen kesepakatan, yaitu:
1.
Kesepakatan tentang
tujuan atau cita-cita bersama
2.
Kesepakatan tentang the rule of law sebagai landasan
pemerintahan atau penyelenggaraan negara
3.
Kesepakatan tentang
bentuk institusi-institusi dan prosedur-prosedur ketatanegaraan.
Adapun konsensus pertama, yaitu berkenaan dengan
cita-cita bersama sangat menentukan tegaknya konstitusi dan konsitusionalisme
di suatu negara dalam konteks kehidupan bernegara. DI negara Indonesia, lambang
negara adalah Garuda. Artinya, gabungan ruh damai dan dasar filosofis yang disebut
sebagai Pancasila yang berarti lima sila atau lima prinsip dasar untuk mencapai
atau mewujudkan empat tujuan bernegara. Kelima sila dalam pancasila dipakai
sebagai dasar filosofis-ideologis untuk mewujudkan empat tujuan atau cita-cita
ideal bernegaa, yaitu melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluuh tumpah
darah Indonesia, meningkatkan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan
bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia bedasarkan kemerdekaan,
perdamaian yang abadi, dan keadila sosial.
Selanjutnya, kesepakatan kedua adalah kesepakatan bahwa
basis pemerintahan didasarkan atas aturan hukum dan konstitusi. Kesepakatan
atau konsensus kedua ini juga sangat prinsipil karena dalam setiap negara harus
ada keyakinan bersama bahwa apa pun yang hendak dilakukan dalam konteks
penyelenggaraan negara haruslah didasarkan atas rule of the game yang ditentukan bersama. Istilah yang biasa
digunakan untuk itu adalah the rule of
the lawyang dipelopori oleh A.V. Dicey, seorang sarjana Inggis kenamaan, di
Amerika Serikat, istilah ini bahkan dikembangkan menjadi jargon, yaitu The rule of law, and not of Man untuk menggambarkan
pengertian bahwa hukumlah yang sesungguhnya memerintah atau memimpin dalam
suatu negara, bukan manusia atau orang. Oleh karena itu, tanpa ada konsensus
semacam itu, konstitusi tidak akan berguna karena ia akan sekedar berfungsi
sebagai kertas dokumn yang mati, hanya bernilai semantik dan tidak berfungsi
atau tidak dapat difungsikan sebagaimana mestinya.
Kesepakatan ketiga berkenaan dengan bangunan organ negara
dan prosedur-prosedur yang mengatu kekuasaannya, hubungan-hubungan antarorgan
negara tersebut satu sama lain, dan hubungan antara organ-organ negara tersebut
dengan warga negara. Dengan adanya kesepakatan tersebut, maka isi konstitusi dapat
dengan mudah dirumuskan karena benar-benar mencerminkan keinginan bersama
berkenaan dengan institusi kenegaraan dan mekanisme ketatanegaraan yang hendak
dikembangkan dalam kerangka kehidupan berkonstitusi. Kesepakatan-kesepakatan
itulah yang dirumuskan dalam dokumen konstitusi yang diharapkan dapat dijadikan
pegangan bersama untuk kurun waktu yang cukup lama. Para perancang dan perumus
konstitusi tidak seharunya membayangkan konstitusi tersebut, bahkan naskah
konstitusi tersebut akan sering diubah dalam wakti dekat. Konstitusi tidak sama
dengan undang-undang yang dapat lebih mudah diubah. Oleh karena itu, mekanisme
perubahan undang-undang dasar memang sudah seharusnya tidak diubah semudah
mengubah undang-undang undang-undang. Sudah tentu, tidak mudahnya mekanisme
perubahan undang-undang dasar tidak boleh menyebabkan undang-undang dasa
tersebut menjadi terlalu kaku karena tidak dapat diubah. Konstitusi juga tidak
boleh disakralkan dari kemungkinan perubahan seperti yang tejadi pada masa Orde
Baru.
Keberadaan Pancasila sebagai falsafah kenegaraan atau staatidee (cita negara) yang berfungsi
sebagai folosofische grondslag dan common platforms atau kalimatun sawa di antara sesama warga masyarakat dalam
konteks kehidupan bernegada dalam kesepakatan petama penyangga
konstitusionalisme menunjukkan hakikat Pancasila sebagai ideologi terbuka.
Terminologi Pancasila sebagai ideologi terbuka sesungguhnya telah dikembangkan
pada masa Orde Baru. Namin dalam pelaksanaannyam, saat itu Pancasila lebih
terlihat sebagai ideologi tertutup. Pancasila enjadi alat hegermoni yang secaa
apriori ditentukan oleh elit kekuasaan untuk mengekang kebebasan dan
melegitimasi kekuasaan. Kebenaran Pancasila pada saat itu tidak hanya mencakup
cita-cita dan nilai dasar, tetapi juga meliputi kebijakan praktis operasional
yang tidak dapat dpertanyakan, tetapi harus diterima dan tipatuhi oleh
masyarakat.
Konsekuensi Pancasila sebagai ideologi terbuka adalah
membuka ruang dalam membentuk kesepakatan masyaajat tentang cara untuk mencapai
cita-cita dan nilai-nilai dasar tersebut. Kesepakatan tersebut adalah
kesepakatan kedua dan ketiga sebagai penyangga konstitusionalisme, yaitu
kesepakatan tentang the rule of the law
sebagai landasan pemerintahan atau penyelenggaraan negara dan kesepakatan
tentang bentuk institusi-institusi dan prosedur-prosedur ketatanegaraan.
Kesepakatan-kesepakatan tersebut hanya mungkin dicapai jika sistem yang
dikembangkan adalah sistem demokrasi.
Pancasila sebagai ideologi dalam konstitusi bangsa
Indonesia memiliki perbedaan dengan sistem kapitalisme-liberal atauapun
sosialisme-komunis. Pancasila mengakui dan melindungi, baik hak-hak indicidu
maupun hak masyarakat dalam bidang ekonomi ataupun politik. Dengan demikian,
ideologi kita mengakui secara selaras, baik kolektivisme maupun individualisme.
Demokasi yang dikembangkan bukanlah demokrasi politik semata seperti dalam
ideologi liberal-kapitalis, melainkan dmeokrasi ekonomi. Dalam sistem
kapitalisme liberal, dasar perekonomian liberal, dasar perekonomian bukan usaha
bersama dan kekeluargaan, melainkan kebebasan individual untuk berusaha.
Sementara itu, dalam sistem etatisme, negara yang mendominasi perekonomian,
bukan warga negara, baik sebagai individu maupun bersama-sama dengan warga
negara lainnya.[7]
Konstitusi
sebagai Dasar Hidup Bernegara
Tanggal 17 Agustus tahun 1945 adalah hari Proklamasi
Indonesia dan UUD NKRI 1945 merupakan dokumen tertulis atau konstitusi negara
kesatuan Republik Indonesia yang merupakan hukum dasar terbentuknya negara
merdeka, bersatu, berdaulat, adil dan makmur berdasarkan Pancasila. Perubahan
UUD 1945 sebagai agenda utama era reformasi mulai dilakuka oleh Majelis
Permusyawaratan Rakyat (MPR) tahun 1999. Pada Sidang Tahunan MPR 1999, seluruh
fraksi MPR membuat kesepakatan tentang arah perubahan UUD 1945.[8]
1.
Sepakat untuk tudak
mengubah Pembukaan UUD 1945.
2.
Sepakat untuk
mempertahankan bentuk Negara Kesatuan Republik Indonesia
3.
Sepakat untuk
mempertahankan sistem presidensil
4.
Sepakat untuk
memindahkan hal-hal normatif yang ada dalam Penjelasan UUD 1945 ke dalam
pasal-pasal UUD 1945.
5.
Sepakat untuk menempuh
cara adendum dalam melakukan amandemen terhadap UUD 1945.
Perubahan UUD 1945 kemudian dilakukan secara bertahap
menjadi salah satu agenda sidang Tahunan MPR[9] dari tahun 1999. Perubahan kedua tahun 2000, perubahan
ketiga tahun 2001, hingga perubahan keempat pada Sidang tahunan MPR tahun 2002
terjadi bersamaan dengan kesepakatan dibentuknya Komisi Konstitusi yang
bertugas untuk melakukan pengkajian secara komprehensif tentang perubahan UUD
1945 berdasarkan ketatapan MPR No. I/MPR/2002 tentang Pmebentukan Komisi
Konstitusi.
Perubahan-perubahan tersebut meliputi hampir keseluruhan
materi UUD 1945. Jika naskah asli UUD 1945 berisi 71 butir ketentuan, maka
setelah empat kali megalami perubahan, materi muatan UUD 1945 mencakup 199
butir ketentuan. Namun sesuai dengan kesepakatan MPR yang kemudian menjadi
lampiran ketetapan MPR No. IX/MPR/1999, pembukaan UUD 1945 tidak akan diubah.
Pembukaan UUD 1945 memuat cita-cita bersama sebagai puncak abstraksi yang
mencerminkan kesamaan-kesamaan kepentingan di antara sesama warga masyarakat
yang dalam kenyataannya harus hidup di tengan pluralisme atau kemajemukan.
Pusat Kajian Konstitusi (PKK) yang sudah terbentuk di
berbagai universitas yang tersebat di seluruh Indonesia, sudah seyogianya dilibatkan
untuk turut menyumbangkan kajian ilmiah bagi penyempurnaan UUD 1945 saat ini.
Diharapkan hasil kajian akademis meeka dapat terhindar dari kepentingan politik
praktis dan tetap menggali filosofi tujuan negaa Pancasila. Kiranya, kita semua
harus mengingat kembali terhadap arti pentingnya gagasar dasar atas konstitusi
yang dikemukakan oleh Patrick Henry, “The
Constitution is not an instrument fo the goverment to restrain the people, but
it is an instrument for the peolple to restrain the goverment”. Jadikanlah
rakyat sebagai aspirasi dan jiwa dari konstitusi itu sendiri.[10]
Konstitusi Negara Indonesia, Suatu
Suplemen
Undang-undang
Dasar atau Konstitusi Negara Republik Indonesia disahkan dan ditetapkan oleh
Pantia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) pada hari sabtu tanggal 18
Agustus 1945, yakni sehari setelah proklamasi kemerdekaan.
Istilah
undang-Undang Dasar 1945 (UUD 1945), yang memakai angka “1945” dibelakang UUD,
barulah timbul kemudian yaitu pada awal 1959, ketika tanggal 19 Februari 1959
Kabinet Karya mengambil kesimpulan dengan suara bulat mengenai “pelaksanaan
demokrasi terpimpin dalam rangka kembali ke UUD 1945”. Kemudian keputusan
pemerintah itu disampaikan ke piha konstituante pada 22 april 1959. Peristiwa
ini dalam sejarah ketatanegaraan Indonesia dikenal dengan nama “ajakan
pemerintah yang berbunyi secara cekak aos untuk kembali ke UUD 1945”.
Jadi
pada saat disahkan dan ditetapkan UUD 1945 pada 18 Agustus 1945, ia hanya
bernama “OENDANG-OENDANG DASAR”. Demikian pula, ketika UUD diundangkan dalam
Berita Republik Indonesia Tahun II No. 7 tanggal 15 Februari 1946, istilah yang
digunakan masih “oendang-oendang Dasar” tanpa tahun 1945.Baru kemudian dalam
Dekrit Presiden 1959 memakai UUD 1995 sebagaimana yang diundangkan dalam
Lembaran Negara No. 75 Tahun 1959.Hal ini perlu dikemukakan, mengingat titik
focus pembahasan buku ini pada UUD 1945 (pernah dua kali masa berlakunya), dan
bukan pembahasan pada UUD RIS (konstitusi RIS 1949) dan UUDS 1950.[11]
Jelaslah
bagi penulis bahwa berdasarkan Ketetapan MPRS NO. XX/MPRS/1966 yang dimaksud
UUD 1945 meliputi: pembukaan, Batang Tubuh yang terdiri dari 37 pasal, 4 pasal
Aturan Peralihan dan 2 ayat Aturan Tabahan, serta Penjelasan otentik UUD.
Adapun mengenai pernah berlakunya UUD 1945 dalam dua kurun waktu, dan UUD 1945
yang mana yang akan dipakai dalam penulisan ini, akan dibahas secara tersendiri
dalam subbab berikut.
Berbicara
tentang Undang-Undang Dasar suatu Negara, menarik sekali untuk diketahui, dalam
kondisi Negara bagimana konstitusi itu lahir, siapa yang mempunyai kontribusi
besar atas kelahiran konstitusi, hendaknya dibawa kemana oleh para perumus atau
pendiri Negara (the founding father) cita-cita Negara itu digariskan. Disamping
itu, dengan Undang-Undang Dasar akan diketahui tentang Negara itu, baik bentuk,
susunan Negara maupun system pemerintahannya.
A.A.H
Struycken berpendapat bahwa Undang-Undang Dasar sebagai Konstitusi konstitusi
tertulis merupakan sebuah dokumen formal yang berisi:
- Hasil perjuangan politik bangsa di waktu yang lampau.
- Tingkat-tingkat tertinggi perkembangan ketatanegaraan bangsa.
- Pandangan tokoh-tokoh bangsa yang hendak diwuudkan baik untuk waktu sekarang maupun masa yang akan dating.
- Suatu keingin, dengan mana perkembangan kehidupan ketatanegaraan bangsa hendak dipimpin.
Undang-Undang
Dasar 1945 sebagai konstitusi tertulis juga dituangkan dalam sebuah dokumen
formal, dimana dokumen tersebut telah dipersiapkan jauh sebelum Indonesia
merdeka, dan baru dirancang oleh Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan
Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI), dengan dua masa siding yaitu tanggal 29 Mei – 1
Juni 1945 dan tanggal 10 – 17 Juli 1945. Sebagai dokumen formal, UUD 1945
detetapkan dan disahkan pada tanggal 18 Agustus 1945 oleh Panitia Persiapan
Kemerdekaan Indonesia.
Pasca-Indonesia
merdeka, Undang-Undang Dasar 1945 pernah berlaku dua kali dalam suasana
ketatanegaraan dan kurun waktu yang berbeda. Bagaimana kronologis
pemberlakuannya, akan diuraikan berikut ini.[12]
B. Pengertian
Hukum Tata Negara
Hukum
Tata Negara sebagai suatu cabang ilmu hukum, telah lama dikembangkan sebagai
mata kuliah dan dijadikan bahan diskusi diberbagai fakultas hukum perguruan
tinggi di Indonesia. Di asia dan afrika, misalnya setelah terjadinya pross de
kolonisasi besar-besaran pasca perang dunia ke kedua, semua Negara yang baru
merdeka juga melengkapi pembentukannya dengan suatu naskah kostitusi. Hal ini
menyebabkan studi khusus mengenai konstitusi itu di berbagai Negara berkembang
sejalan dengan perkembangan kehidupan kenegaraan dilingkungan masing-masing.
Di
Indonesia dalam rangka persiapan kemerdekaan sebuah Negara berdaulat yang
lepasdari penjajahan bangsa asing, pada tahun 1945 yang lalu, para tokoh-tokoh
pergerakan nasional juga mempersiapkan suatu naskah konstitusi yang kamudian
kita kenal dengan Undang-Undang Dasar 1945. UUD 1945 itu menjadi suatu naskah
hukum dasar bagi bangsa Indonesia untuk menata kehidupan kenegaraan, dan bahkan
seperti termuat dalam pasal 31, pasal 32, pasal 33, pasal 34 Undang-Undang
Dasar 1945 itu sebenrnya menjadi hukum dasar bagi kehidupan social, ekonomi,
dan kebudayaan di Indonesia.
Oleh
karena itu, memperbincangkan Hukum Konstitusi yang di Indonesia lazim disebut
Hukum Tata Negara, dalam konteks studi dan pendidikan hukum, menjadi suatu yang
niscaya bagi setiap sarjana hukum. Setiap calon sarjana hukum harus memhamai
benar Undang-Undang Dasar negaranya sendiri sebagai acuan dasar dari semua
produk hukum yang harus dipelajari.
Apalagi dalam Undang-Undang Dasar 1945 itu, Negara Republik Indonesia disebut
sebagai Negara yang berdasar atas hukum (Rechsstaat
ataupun The Rule of Law). Konsekuensinya adalah segala prilaku manusia
Indonesia dalam konteks kehidupan bernegara mengambil kira akan adanya
Undang-Undang Dasar itu sebagai hukum dasar
tempat mengacunya semua tindakan dalam menata kehidupan bersama dalam
masyarakat Indonesia yang adil dan beradab sebagai konsep mengenai masyarakat
madani Indonesia (Indonesian civil
society)
Sehubungan
dengan itu, kedudukan dan peranan Ilmu Hukum Tata Negara itu dalam konteks
pembangunan Indonesia, dapat kita lihat dari beberapa segi yaitu:
a)
Dalam konteks
perkembangan ilmu pengetahuan
b)
Dalam konteks
pendidikan
c) Dalam konteks penataan
struktur kehidupan kenegaraan dan kemasyarakatan yang sangat diperlukan dalam
rangka pelembagaan kehidupan kemasyarakatan, kebangsaan, kenegaraan dan wadah
Negara Kesatuan Republik Indonsia yang berdasar Pancasila.
Pemahaman
yang komprehensif mengenai kedudukan dan peranan Hukum Tata Negara ini penting
agar para mahasiswa hukum sebagai calon sarjana hukum dapat mengerti lingkup
kegunaan ilmu ini bagi mereka di masa yang akan datang. Bahwa Hukum Tata Negara
di Indonesia dikembangkan sebagai suatu cabang ilmu hukum yang amat luas
cakupannya, sehingga cakrawala pemikiran yang perlu dikembangkan di dalamnya
juga terbentang luas, tergantung bagaimana para mahasiswa dan sarjana hukum
yang menggelutinya berfikir dan bertindak dalam hubungannya dengan cabang Ilmu
Hukum Tata Negara itu.[13]
Penataan Kehidupan Kenegaraan dan
Kemasyarakatan
Hukum
Tata Negara mempunyai peran penting dalam rangka penataan kehidupan kenegaraan dan
kemasyarakatan atas dasar sistem yang diacu dalam konstitusi. Dalam konstitusi,
diatur dasar-dasar penataan mengenai kekuasaan Negara, baik ata orang maupun
atas benda. Kekuasaan atas orang dan atas benda itu sejak zaman Romawi Kuno
sudah dibedakan melalui konsep imperium
versus dominium. Dominium merupakan konsep mengenai the rule over things by the individuals, sedangkan imperium
merupakan konsep mengenai the rule over
all individuals by the prince.
Perbedaan
ini terus dikembangkan dalam sejarah sampai sekarang, bahkan dilembagakan dalam
studi ilmu hukum melalui pembedaan antara konsep hukum public dan hukum privat.
Kedua bidang hukum ini dikembangkan dengan obyek yang terpisah satu sama lain.
Hukum publik menyangkut kepentingan umum sedangkan hukum privat berkaitan
dengan kepentingan perseorangan.Seperti itu dikatatakan oleh Montesquieu,
dengan hukum public (political law)
kita memperoleh kebebasan (liberety);
sedangkan dengan hukum perdata (civil),
kita memperoleh hak milik kita (property).
Masalah
susunan sosial dan ekonomi rakyat
dianggap sebagai urusan peribadi yang tidak ada sangkut pautnya dengan Negara.
Oleh karena itu, susunan social dan ekonomi masyarakat tidak mendapat tempat
dan naskah konstitusi.
Namun
demikian, terlepas dari adanya penyimpangan ini, yang jelas terlihat adanya
kecenderungan bahwa Negara-negara Eropa Timur pada umumnya mencantumkan
ketentuan mengenai tata sosial dan ekonomi ini secara tegas dalam
konstitusinya. Sedangkan dalam konstitusi Negara-negara Eropa Barat, pada
umumnya tidak memuat soal kekuasaan Negara dibidang ekonomi itu dalam
konstitusinya. Hal ini, sebenernya dapat dihubungkan denaga cara berpikir
masyarakat Eropa Timur yang bersifat sosialistis atau karena adanya faktor
ideology Negara yang komunistis, yang anti liberalism dan individualisme,
sehingga secara politik semua warga negaara mempunyai otonominya
sendiri-sendiri dan secara ekonomis kehidupan mereka tidak terlalu memerlukan
atau menuntut peranan Negara. Malahan, pada mula perkembangannya, paham ini
justru menghendaki peranan Negara mungkin.
Dalam
kaitannya dengan ketentuan tata perekonomian itu, timbul pertanyaan sejauh mana
hal itu memperlihatkan dianutnya pengertian bahwa kedaulatan itu tidak saja
meliputi kedaultan politik, tetapi juga dan ekonomi sekaligus. Benarkah
Negara-negara Eropa Barat, pada umumnya, memahami bahwa kedaulata itu meliputi
pula dimensi yag bersifaat ekonomis. Untuk menyebut beberapa contoh, berikut
ini dapat diperbandingkan struktur atau susunan dari kedua jenis konstitusi
tersebut diatas.
C. Perkembangan
Konsitusi di Indonesia
Dalam
sejarah ketatanegaraan Indonesia ada empat macam Undang-Undang Dasar yang pernah
berlaku yaitu : (1) UUD 1945, yang berlaku antara 17 Agustus 1945 sampai 27
Desember 1949; (2) Konstitusi Republik Indonesia Serikat (3) UUD sementara 1950
(4) UUD 1945, yang berlaku sejak di keluarannya Dektrit Presiden 5 Juli 1959.[14]
Undang-Undang Dasar 1945
UUD
1945 pertama kali disahkan berlaku sebagai konstitusi negara Indonesia dalam
sidang Panitia Persiapan Kemerdekaan Indoneisa pada tanggal 18 agustus 1945,
yaitu sehari setelah kemerdekaan negara Republik Indonesia diproklamasikan oleh
Soekarno dan Moch Hatta pada tanggal 17 agustus 1945. Naskah UUD 1945 ini
pertama kali dipersiapkan oleh satu badan bentukan pemerintah balatentara
jepang yang di beri nama Dokuritsu Zyunbi Tyoosakai yang dalam bahasa Indonesia
disebut “Badan Penyelidik Usaha-Usaha Persiapan Kemerdekan Indonesia” (BPUPKI).
Pimpinan dan anggota badan ini dilantik oleh pemerintah balatentara jepang pada
tanggal 28 Mei 1945 dalam rangka memenuhi janji Pemerintah Jepang di depan
parlemen (diet) untuk memberikan kemerdekaan kepada bangsa Indonesia. Namun,
setelah pembentukannya, badan ini tidak hanya melakukan usaha-usaha persiapan
kemerdekaan sesuai dengan tujuan pembentukannya, tetapi malah mempersiapkan
naskah Undang-undang Dasar sebagai dasar untuk mendirikan negara Indonesia merdeka.
Badan
Penyeilidik Usaha-Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) ini
beranggotakan 62 orang, diketuai oleh K.R.T Radjiman Wedyodiningrat, serta
Itbangse Yosio dan Raden Panji Suroso, masing-masing sebagai wakil ketua.
Persidangan badan ini dibagi dalam dua periode, yaitu masa sidang pertama dari
tanggal 29 Mei sampai dengan 1 Juni
1945, dan masa sidang kedua dari tanggal 10 Juli sampai 17 Juli 1945. Dalam
kedua masa sidang itu, fokus pembicaraan dalam siding-sidang BPUPKI langsung
tertuju pada upaya mempersiapkan pembentukan sebuah negara merdeka. Hal ini
terlihat selama masa persidangan pertama, pembicaraan tertuju pada soal
philosofische grondslag, dasar falsafah yang harus dipersiapkan dalam rangka
negara Indonesia merdeka. Pembahasan mengenai hal-hal teknis tentang bentuk
negara dan pemerintahan baru dilakukan dalam masa persidangan kedua dari anggal
10 Juli sampai dengan 17 Agustus 1945.
Yang
terpenting disadari adalah behawa keberadaan UUD 1945 itu sesungguhnya memang
bersifat sementara dan dimaksudkan sebagai UUD untuk sementara waktu saja.
Semangat demikian mewakili sikap dan pandangan the founding fathers sendiri
mengenai naskah UUD 1945. Karena semangat demikian itu, ditambah pula oleh
kenyataan sebagai negara yang baru merdeka, masih harus melakukan banyak hal
yang tidak sepenuhnya dapat diikat oleh aturan-aturan konstitusional yang
ketat, maka UUD 1945 memang tidak selalu dijadikan referensi. Misalnya, menurut
ketentuan UUD 1945, sistem pemerintahan yang dianut adalah sistem presidensiil.
Atas dasar itu, pada tanggal 2 september 1945 ditentukanlah susunan cabinet
pertama di bawah tanggung jawab Presiden soekarno. Akan tetapi, baru dua bulan
setelah itu, yaitu tepatnya pada tanggal 14 November 1945, Pemerintah
mengeluarkan Maklumat yang berisi perubahan sistem Kabinet dari Sistem
presidensiil ke sistem parlementer.
Konstitusi RIS 1945
Kepergian
Pemerintah Balatentara Jepang dari tanah Air di manfaatkan oleh Pemerintah
Belanda untuk menjajah kembali Indonesia. Pemerintah Belanda menerapkan poltik
adu domba dengan cara mendirikan dan mensponsori berdirinya beberapa negara
kecil di berbagai wilayah nusantara, seperti Sumatra,Indonesia Timur Pasundan,
Jawa Timur, dan sebagainya.
Sejalan
dengan hal itu, tentara Belanda melakukan Agresi I pada tahun 1947 dan Agresi
II pada tahun 1948 untuk maksud kembali menjajah Indonesia. Dalam keadaan
terdesak, atas Pengaruh Perserikatan Bangsa-bangsa, pada tanggal 23 agustus
1949 sampai dengan tanggal 2 November 1949 diadakan Konferensi Meja Bundar di
Den Hag. Konferensi ini dihadiri oleh wakil-wakil dari Republik Indonesia dan
Bijeenkomst voor Federal Overleg (BFO) serta wakil Nederland dan komisi
Perserikatan Bangsa-Bangsa untuk Indonesia.
Konferensi
Meja Bundar tersebut berhasil menyepakati tiga hal, yaitu sebagai berikut.
1.
Mendirikian negara Republik Indonesia Serikat.
2.
Penyerahan kedaulatan
kepada RIS
yang berisi tiga hal, yaitu
(a.)
piagam penyerahan kedaulatan dari kerajaan Belanda kepada Pemerintahan RIS; (b) status uni dan; (c) persetujuan
perpindahan.
3.
Mendirikan uni antara
Republik Indonesia Serikat dengan Kerajaan Belanda.
Naskah
konstitusi Republik Indonesia serikat disusun bersama oleh delegasi Republik
Indonesia dan dilegasi BFO ke konferensi Meja Bundar itu. Selanjutnya,
Konstitusi RIS dinyatakan berlaku mulai tanggal 27 Desember 1949.
Dengan
berdirinya negara Republik Indonesia Serikat berdasarkan konstitusi RIS Tahun
1949 itu, wilayah Republik Indonesia sendiri masih tetap ada di samping negara
federal Republik Indonesia Serikat. Konstitusi RIS yang disusun dalam rangka
konferensi Meja Bundar di Den Haag pada tahun 1949 itu, pada pokoknya juga
dimaksudkan sebagai UUD yang bersifat sementara. Disadari bahwa lembaga yang
membuat dan menetapkan UUD itu tidaklah representative. Oleh karena itu, dalam pasal 186 Konstitusi RIS ini ditegaskan
ketentuan bahwa konstituante bersama-sama dengan Pemerintah selekas-lekasnya
menetapkan Konstitusi Republik Indonesia Serikat. Dari ketentuan Pasal 186 ini,
jelas sekali artinya bahwa konstitusi RIS 1949 yang ditetapkan di den hag itu
hanyalah bersifat sementara saja.
Undang-Undang Dasar Sementara 1950
Dalam
rangka persiapan ke arah itu, untuk kepeluan menyiapkan satu naskah Undang-Undang
Dasar, dibentuklah suatu Panitia bersama yang akan menyusun rancangannya. Setelah
selesai, rnerancangan naskah Undang-Undang Dasar itu kemudian disahkan oleh
Badan Pekerja Komite Nasional Pusat pada tanggal 12 Agustus 1950, dan oleh Dewan
Perwakilan Rakyat dan Senat Republik Indonesia Serikat pada tanggal 14 Agustus
1950. Selanjutnya UUD baru ini diberlakukan secara resmi mulai tanggal 17
Agustus 1950, yaitu dengan ditetepkannya Undang-Undang No.7 Tahun 1950. UUDS
1950 ini bersifat mengganti, sehingga isinya tidak hanya mencerminkan perubahan
terhadap Konstitusi Republik Indonesia Serikat Tahun 1949, tetapi menggantikan
naskah Konstitusi RIS itu dengan naskah baru sama sekali dengan nama
Undang-Undang Dasar Sementara Tahun 1950.
Sayangnya,
majelis Konstituante ini tidak atau belum sampai berhasil menyelesaikan
tugasnya untuk menyusun Undang-Undang Dasar baru ketika Presiden Soekarno
Berkesimpulan bahwa Konstituante telah gagal, dan atas dasar itu ia
mengeluarkan Dekrit tanggal 5juli 1959 yang memberlakukan kembali UUD 1945
sebagai UUD negara Republik Indonesia selanjutnya. Memang kemudian timbul
kontroversi yang luas berkenaan dengan status hukum berlakunya Dekrit Presiden
yang dituangkan dalam bentuk keputusan Presiden itu sebagai tindakan hukum yang
sah untuk memberlakukan kembali Undang-Undang Dasar 1945.
Terlepas
dari kontroversi itu, yang jelas, sejak Dekrit 5 Juli 1959 sampai sekarang, UUD
1945 terus berlaku dan diberlakukan sebagai hukum dasar. Sifatnya masih tetap
sebagai UUD sementara.[15]
Pada
periode UUDS 1950 ini diberlakukan system Demokrasi Parlementer yang sering
disebut demokrasi liberal. Pada periode ini cabinet selalu silih berganti,
sehingga pembangunan tidak berjalan lancar karena masing-masing dari partai
lebih memperhatikan kepentingan partai atau golongannya.
Setelah
Negara RI dengan UUDS 1950 dan system demokrasi liberal yang di alami rakyat
Indonesia hamper 9 tahun, maka rakyat Indonesia sadar bahwa UUDS 1950 dengan
system demokrasi liberal tidak cocok karena tidak sesuai dengan jiwa pancasila
dan UUD 1945.
UUD 1945 Pasca Dekrit Presiden 5
Juli 1959
Salah
satu berkah dari reformasi adalah perubahan UUD 1945. Sejak keluarnya dekrit 5
juli 1959 yang memerintahkan kembali ke UUD 1945 sampai berakhirnya kekuasaan
presiden Soeharto, praktis UUD 1945 belum pernah di rubah untuk disempurnakan.
Soekarno dengan demokrasi terpimpinnya bukan menjungjung tinggi nilai
kedaulatan rakyat, tetapi yang di jungjung tinggi adalah kedauatan pemimpin,
itulah yang sagat dominan. Era ini melahirka system diktaktor dalam
kepemimpinan Negara.Presiden Soekarno telah gagal keluar dari piliahan
dilematisnya antara mengembagkan demokrasi melalui system multi partai dengan
keinginan untuk menguasai seluruh partai dalam rangka mempertahankan
kekuasaannya.
Gagasan
perubahan UUD 1945 menjadi tuntunan yang tidak bisa dielakan lagi. Mengapa UUD
1945 harus dilakukan peubahan bagaimana alasan dapat dikemukakan mengapa
perubahan itu penting dan harus
dilakukan. Secara filosofis, pentingnya perubahan UUD 1945 adalah pertama ,karena
UUD 1945 adalah moment opname dari berbagai kekuatan politik dan ekonomi
yang dominan pada saat dirumuskannya konstitusi itu. Setelah 54 tahun, tentu
terdapat berbagai perubahan baik di tingkat nasional maupun di tinggkat global.
Hal ini tentu saja belum tercakup didalam UUD 1945 karen saat iu belum tampak
perubahan tersebut. Kedua, UUD 1945 disusun oleh manusia sesuai
kodratnya tidak akan pernah sampai kepada tingkat kesempurnaan. Pekerjan yang
dilakukan manusia tetap memiliki berbagai kemungkinan kelemahan maupun
kekurangan.
Secara
yuridis, para perumus UUD 1945 sudah menunjukan kearifan bahwa apa yang mereka
lakukan ketika UUD 1945 disusun tentu akan berbeda kondisinya dimasa yang akan
datang dan suatu saat mungkin akan mengalami perubahan. Baik dilihat dari
sejarah penyusunan maupun sebagai produk hukum yang mencerminkan pikiran dan
kepentingan yang ada pada saat itu, UUD akan aus dimakan masa apabila tidak
diadakan pembaruan sesuai dengan dinamika kehidupan masyarakat, berbangsa, dan
bernegara di bidang politik, ekonomi, social maupun budaya.
Untuk
itu mereka (perumus UUD 1945) membuat pasal
perubahan didalan UUD 1945, yaitu pasal 37. Tetapi dalam ketentuan dalam
pasal 37 sangat simple karena hanya mengatur segi pengambilan keputusan
belaka,sehingga sulit untuk di terapkan karena tidak dijelaskan bagian mana
saja yang boleh dan yang tidak bolrh untuk di ubah, bagaimana cara mengubahnya
dan seterusnya. Tidak ada ketentuan lainmenyangkut perubahan UUD 1945 sebab
tambahan muncul kemudian, yaitu melalu interprestasi historis dan filosofis
oleh ketetapan MPR no.XX/MPRS/1966, bahwa pembukaan UUD 1945 tidak dapat
diubah. MPR hasil pemilu 1999 juga bersepakat untuk tidak merubahnya.[16]
Dorongan
memperbaharui atau mengubah UUD 1945 didasarkan pula pada kenyataan bahwa UUD
1945 sebagai subsistem tatanan konstitusi dalam pelaksanaanya berjalan tidak
sesuai dengan staatside mewujudkan Negara berdasarkan konstitusi, seperti
tegaknya tatanam demokrasi, Negara berdasarkan atas hukum yang menjamin hal-hal
seperti hak asasi manusia, kekuasaan kehakiman yang merdeka, serta keadilan social
bagi seluruh rakyat Indonesia. Hal yang terjadi adalah etatisme, otoriterisme
atau kediktaktoran yang menggunakn UUD 1945 sebagai sandaran.[17]
Di
tenggah proses perubahan UUD 1945, PAH I meyusun kesepakatan dasar berkaitan
dengan perubahan UUD 1945. Kesepakatan dasar itu sendiri dari lima butir yaitu
:
1.
Tidak mengubah
pembukaan UUD 1945;
2.
Tetap memperthankan
Negara Kesauan Republik Indonesia;
3.
Mempertegas sistem pemerintahan
presidensial;
4.
Penjelasan UUD 1945
ditiadakan serta hal-hal normative dalam dalam penjelasan dimasukan kedalam
pasal-pasal;
5.
Perubahan dilakukan
dengan cara “adendum”
Dalam
pasal-pasal UUD 1945 tidak ada satu pasalpun yang melarang untuk mengubah
pembukaan UUD 1945. Akan tetapi oleh sebagian besar anggota MPR sebagaimana
diuraikan di atas, disepakati pembukaan UUD 1945 sebagai cita-cita luhur bangsa
Indonesia sehingga tidak boleh diubah serta dipandang sudah final. Pembukaan
UUD 1945 memuat dasar filosofis dan dasar normative yang mendasari seluruh
pasal dalam UUD 1945. Mengandung staatside berdirinya Negara Kesatuan Republik
Indonesia (NKRI), tujuan (haluan) Negara
, serta dasar Negara yang harus tetap di pertahankan.
Kesepakatan
dasar untuk mempertegas sistem pemerintahan presidensial bertujuan untuk
memperkukuh sistem pemerintahan yang stabil dan demokratis yang dianut oleh
Republik Indonesia dan telah dipilih oleh pendiri Negara pada tahun 1945. Dalam
sistem ini terdapat prinsip penting yaitu
: (1) Presiden dan Wakil Presiden merupakan satu institusi
penyelenggaraan kekuasaan eksekutif Negara tertinggi dibawah Undang-Undang
Dasar. (2) Presiden dan Wakil Presiden dipilih oleh rakyat dank arena itu
secara poliik tidak bertanggung jawab kepada Majelis Permusyawaratan Rakyat
atau lembaga parlemen, melainkan bertanggung jawab langsung kepada rakyat yang
telah memilihnya. (3) Presiden dan Wakil Presiden dapat dimintakan
pertanggungjawabannya secara hukum apabila Presiden dan Wakil Presiden
melakukan pelanggaran hukum dan konstitusi. (4) Para mentri adalah pembantu
presiden. Mentri diangkat dan diberhentikan oleh Presiden karena itu
bertanggung jawab kepada Presiden, bukan dan tidak bertanggung jawab kepada
parlemen. (5) untuk membatasi kekuasaan Presiden yang kedudukanya dalam system
presidensial sangat kuat sesuai kebutuhan untuk menjamin stabilitas
pemerintahan, ditentukan pula bahwa masa jabatan Presiden lima tahunan tidak
boleh dijabat oleh orang yang sama lebih dari dua masa jabatan.[18]
Dalam
keempat periode berlakunya ke empat macam UUD itu, UUD 1945 berlaku dalam dua
kurun waktu. Kurun waktu pertama telah berlaku UUD 1945 sebagaimana di
undangkan dalam berita Republik Indonesia tahun II No.7. Kurun waktu kedua
berlaku sejak presiden Soekarno mengeluarkan dekrit presiden 5 juli 1959 sampai
sekarang. Melalui dekrit itu, telah dinyatakan berlakunya kembali UUD 1945.
Pada
masa ini terdapat berbagai penyimpangan UUD 1945, diantaranya :
1.
Presiden
mengangkat ketua dan wakil ketua MPR atau DPR dan MA serta wakil ketua DPA
menjadi menteri negara
2.
MPRS
menetapkan Soekarno sebagai presiden seumur hidup
Pengertian Amandemen UUD 1945
Secara
etimologis, amandemen berasal dari Bahasa Inggris :“To Amend” diartikan sebagai To
Make Better, To Remove The Faults (untuk menjadikannya lebih baik, dan
menghapuskan kesalahan-kesalahan). Selanjutnya amandement diartikan sebagai A Change For The Better, A Correction Of
Error (merubahnya agar lebih baik, memeriksa yang salah).
Menurut
Sujatmiko, amandemen yang pokok itu tidak serampangan dan merupakan hal yang
serius. Konstitusi itu merupakan aturan tertinggi bernegara. Beliau berpendapat
bahwa konstitusi di negara kita belum sepenuhnya sempurna.Jika ingin
menyempurnakan konstitusi satu-satunya pilihan ialah amandemen.
Dari
beberapa referensi di atas amandemen haruslah dipahami sebagai penambahan, atau
perubahan pada sebuah konstitusi yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari
naskah aslinya, dan diletakkan pada dokumen yang bersangkutan.Pemahaman lebih
lanjut adalah amandemen bukan sekedar menyisipkan kata-kata atau perihal baru
dalam teks.
Di sisi
lain, amandemen bukan pula penggantian. Mengganti berarti melakukan perubahan
total dengan merumuskan konstitusi baru mencakup hal-hal mendasar seperti
mengganti bentuk negara, dasar negara, maupun bentuk pemerintahan. Dalam
amandemen UUD 1945 kiranya jelas bahwa tidak ada maksud-maksud mengganti dasar
negara Pancasila, bentuk negara kesatuan, maupun bentuk pemerintahan
presidensiil.
Salah satu
bentuk komitmen untuk tidak melakukan perubahan terhadap hal-hal mendasar
diatas adalah kesepakatan untuk tidak melakukan perubahan atas Pembukaan UUD
1945. Dari penjelasan tersebut jelas bahwa yang harus mendasari Amandemen UUD
1945 adalah semangat menyempurnakan, memperjelas, memperbaiki kesalahan, dan
melakukan koreksi terhadap Pasal-Pasal yang ada, tanpa harus melakukan
perubahan terhadap hal-hal yang mendasar dalam UUD 1945 itu sendiri.
Alasan dan Kesepakatan Amandemen UUD
1945
Berikut
adalah alasan-alasan terjadinya perubahan (amandemen) dalam UUD 1945.
1.
Lemahnya checks and balances (koreksi dan menyeimbangkan) pada
institusi-institusi ketatanegaraan.
2.
Executive heavy, yaitu kekuasaan
terlalu dominan berada di tangan Presiden (hak prerogatif dan
kekuasaan legislatif)
3.
Pengaturan terlalu fleksibel (Pasal 7 UUD 1945 sebelum amandemen)
4.
Terbatasnya pengaturan jaminan akan HAM
5.
Segi historis, pembuatan UUD 1945 ditetapkan dalam suasana tergesa-gesa,
sehingga memuat banyak kekurangan.
6. Segi substansi dan isi UUD 1945, di
mana UUD 1945 memiliki keterbatasan dan kelemahan.
7. Segi sosiologis, yaitu adanya amanat
dari rakyat untuk melakukan amandemen.
Berdasarkan
alasan-alasan di atas, maka terbentuklah kesepakatan-kesepakatan mengenai
amandemen UUD 1945, diantaranya sebagai berikut:
1. Amandemen
dilakukan oleh antar fraksi MPR.
2. Amandemen terdiri dari pembukaan dan batang
tubuh mempunyai kedudukan berlainan, namun terjalin dalam hubungan bersifat
kausal organis.
3. Kesepakatan
antara fraksi MPR dalam amandemen UUD 1945, antara lain sebagai berikut.
a. Tidak mengubah pembukaan UUD 1945.
b. Tetap mempertahankan NKRI.
c. Tetap mempertahankan sistem presidesial.
d. Bagian penjelasan UUD 1945 yang normatif,
dimasukan dalam batang tubuh.
e. Perubahan addendum, yaitu
satu kesatuan antara perubahan yang diubah dengan yang tidak diubah.
Sejarah Amandemen UUD 1945
1. Amandemen I
Amandemen yang pertama kali ini disahkan pada tanggal
19 Oktober 1999 atas dasar SU MPR 14-21 Oktober 1999. Amandemen yang
dilakukan terdiri dari 9 Pasal, yakni: Pasal 5, Pasal 7, Pasal 9, Pasal 13, Pasal 14,
Pasal 15, Pasal 17, Pasal 20 dan Pasal 21.
Inti dari amandemen pertama ini adalah pergeseran
kekuasaan Presiden yang dipandang terlalu kuat (executive heavy).
2. Amandemen II
Amandemen yang kedua disahkan pada tanggal
18 Agustus 2000 dan disahkan melalui sidang umum MPR 7-8 Agustus
2000. Amandemen dilakukan pada 5 Bab dan 25 Pasal. Berikut ini rincian
perubahan yang dilakukan pada amandemen kedua.
Pasal 18, Pasal 18A, Pasal 18B,
Pasal 19, Pasal 20, Pasal 20A, Pasal 22A, Pasal 22B, Pasal 25E,
Pasal 26, Pasal 27, Pasal 28A, Pasal 28B, Pasal 28C, Pasal 28D, Pasal
28E, Pasal 28F, Pasal 28G, Pasal 28H, Pasal 28I, Pasal 28J, Pasal 30,
Pasal 36A, Pasal 36B, Pasal 36C.
BAB IXA, BAB X, BAB
XA, BAB XII, dan BAB XV.
Inti dari amandemen kedua ini adalah Pemerintah
Daerah, DPR dan Kewenangannya, Hak Asasi Manusia, Lambang Negara dan
Lagu Kebangsaan.
3. Amandemen III
Amandemen ketiga disahkan pada tanggal 10 November
2001 dan disahkan melalui ST MPR 1-9 November 2001. Perubahan yang
terjadi dalam amandemen ketiga ini terdiri dari 3 Bab dan 22 Pasal. Berikut ini
rincian dari amandemen ketiga.
Pasal 1,
Pasal 3, Pasal 6, Pasal 6A, Pasal 7A, Pasal 7B, Pasal 7C, Pasal 8, Pasal 11,
Pasal 17, Pasal 22C, Pasal 22D, Pasal 22E, Pasal 23, Pasal 23A, Pasal 23C,
Pasal 23E, Pasal 23F, Pasal 23G, Pasal 24, Pasal 24A, Pasal 24B, Pasal 24C.
BAB VIIA, BAB VIIB, dan BAB VIIIA.
Inti perubahan yang dilakukan pada amandemen ketiga
ini adalah Bentuk dan Kedaulatan Negara, Kewenangan MPR, Kepresidenan, Keuangan
Negara, Kekuasaan Kehakiman.
4. Amandemen IV
Sejarah amandemen UUD 1945 yang
terakhir ini disahkan pada tanggal 10 Agustus 2002 melalui ST MPR 1-11
Agustus 2002. Perubahan yang terjadi pada amandemen ke-4 ini terdiri dari
2 Bab dan 13 Pasal.
Pasal 2,
Pasal 6A, Pasal 8, Pasal 11, Pasal16, Pasal 23B, Pasal 23D, Pasal 24, Pasal 31,
Pasal 32, Pasal 33, Pasal 34, Pasal 37.
BAB XIII dan BAB XIV.
Inti Perubahan amandemen ini DPD sebagai bagian MPR,
Penggantian Presiden, pernyataan perang, perdamaian dan perjanjian, mata uang, bank
sentral, pendidikan dan kebudayaan, perekonomian nasional dan
kesejahteraan sosial, perubahan UUD.
Tujuan Amandemen UUD 1945
Dari pembahasan di atas, dapat
disimpulkan bahwa tujuan dari amandemen UUD 1945 ialah untuk menyempurnakan UUD
yang sudah ada agar tetap sesuai dengan perkembangan zaman.Adapun amandemen
yang dilakukan bertujuan untuk membawa bangsa ini menuju perubahan yang lebih
baik di berbagai bidang dengan senantiasa selalu memperhatikan kepentingan
rakyat.
Tujuan amandemen UUD 1945 menurut
Husnie Thamrien, adalah sebagai berikut:
1. Untuk
menyempurnakan aturan dasar mengenai tatanan negara agar dapat lebih mantap
dalam mencapai tujuan nasional serta menyempurnakan aturan dasar mengenai
jaminan dan pelaksanaan kekuatan rakyat,
2. Memperluas partisipasi
rakyat agar sesuai dengan perkembangan paham demokrasi,
3. Menyempurnakan
aturan dasar mengenai jaminan dan perlindungan hak agar sesuai dengan
perkembangan HAM dan peradaban umat manusia yang menjadi syarat negara hukum,
4. Menyempurnakan
aturan dasar penyelenggaraan negara secara demokratis dan modern melalui
pembagian kekuasan secara tegas sistem check and balances yang lebih ketat dan
transparan dan pembentukan lembaga-lembaga negara yang baru untuk mengakomodasi
perkembangan kebutuhan bangsa dan tantangan jaman,
5. Menyempurnakan
aturan dasar mengenai jaminan konstitusional dan kewajiban negara memwujudkan
kesejahteraan sosial mencerdaskan kehidupan bangsa, menegakkan etika dan moral
serta solidaritas dalam kehidupan bermasyarakat berbangsa dan bernegara sesuai
dengan harkat dan martabat kemanusiaan dalam perjuangan mewujudkan negara
kesejahteraan,
6. Melengkapi
aturan dasar dalam penyelenggaraan negara yang sangat penting bagi eksistensi
negara dan perjuangan negara mewujudkan demokrasi,
7. Menyempurnakan
aturan dasar mengenai kehidupan bernegara dan berbangsa sesuai dengan
perkembangan aspirasi kebutuhan dan kepentingan bangsa dan negara Indonesia ini
sekaligus mengakomodasi kecenderungannya untuk kurun waktu yang akan datang.
D. Kedudukan
Konstitusi didalam Hukum Tata Negara
Diantara Para ahli hukum paling sedikit ada empat pandangan dalam
memahami kedudukan atau
keterkaitan antara “hukum
tata negara” dan “hukum konstitusi”, dapat dikaji seperti dibawah ini.
Pertama, Djokosoetono, lebih
menyukai penggunaan istilah Jerman, Vefassunglehre
(Teori Konstitusi) daripada istilah Vefassungrecht
(Hukum Tata Negara Positif). Vefassunglehre
atau “teori konstitusi” menjadi dasar untuk mempelajari Hukum Tata Negara
dalam arti positif, yaitu “hukum tata negara Indonesia”. Dalam membedakan
“teori konstitusi” dan “hukum konstitusi”, ia mengemukakan bahwa ”teori
konstitusi” lebih luas lingkup kajiannya daripada hukum konstitusi”, karena
teori konstitusi cakupan kajiannya selain mengkaji persoalan-persoalan yang
berdimensi yuridis, juga mengkaji masalah-masalah yang berdimensi non-yuridis,
yakni faktor-faktor kekuataan riil (reele-machsfactoren,
istilah Hoetink) atau keadaan alam dan situasi budaya (Natur und Kulturbedingungen, istilah Herman Heller) yang
mempengaruhi penerapan norma atau kaidah-kaidah ketatanegaraan. Di balik itu Verfassungrecht adalah “hukum tata negara dalam arti positif
atau “Hukum Konstitusi” hanya mengkaji dogmatika hukum tata negara.
Jadi Menurut Djokosoetono Hukum Konstitusi sama dengan
Hukum Tata Negara, Sedangkan teori konstitusi lebih luas, karena mengkaji juga aspek politik
dan sosial budaya yang mempengaruhi hukum tata negara baik dalam teori maupun praktik.
Kedua, diantara ahli hukum
(Bagir Manan; 2004; 5), berpendapat bahwa istilah “Hukum Tata Negara” yang
berasal dari terjemahan bahasa Inggris Constitutional
Law dikatakan identik atau sama dengan “Hukum Konstitusi”.
Ketiga, pendapat yang
secara jelas atau tajam membedakan Hukum Tata Negara dan Hukum Konstitusi,
didasarkan pada pandangan bahwa dari segi istilah hukum tata negara dianggap
lebih luas daripada hukum konstitusi. Hukum Konstitusi dipandang lebih sempit,
karena hanya membahas hukum dalam perspekti teks undang-undang dasar. Di balik
itu Hukum Tata Negara, kajiannya tidak hanya terbatas pada undang-undang dasar,
tetapi juga mengkaji faktor-faktor non-hukum yang mempengaruhi penyelenggaraan
kekuasaan negara. (Jimli Asshiddiqie; 2006:3)
Keempat, jika dicermati
perbedaan Hukum Tata Negara dan Hukum Konstitusi tidak prinsipil, akan tetapi
hanya perbedaan gradual. Perbedaan gradual itu dapat dicermati dari dua sisi,
yaitu:
1.
Dari segi focus of interest (pusat perhatian) atau
hampiran, Hukum Konstitusi, fokus pada studi norma-norma atau kaidah-kaidah
teks undang-undang dasar, sedangkan, hukum tata negara, fokus pada studi
kekuasaan negara, yakni tentang tugas dan wewenang lembaga-lembaga negara
termasuk pembagian kekuasaan, atau prinsip pemisahan kekuasaan negara dengan
asas “cheks and balance”.
2.
Dari sudut pendalaman
studi, karena begitu kompleks masalah-masalah ketatanegaraan, maka “Hukum
Konstitusi” dapat dikatakan merupakan studi pendalaman terhadap konstitusi dari
perspektif Hukum Tata Negara dalam arti sempit.
Dalam kaitan pendapat keempat, dapat dijadikan acuan
pandangan Philipus M. Hadjon (1994: 4), bahwa Hukum Konstitusi adalah Hukum
Tata Negara dalam arti sempit, tidak termasuk Hukum Administrasi.[19]
Kesimpulan
1. Pengertian konstitusi
Istilah
konsitusi berasal dari bahasa Prancis, constituer.Kata
konstitusi berarti pembentukan yang berasal dari kata kerja, yaitu constituer (Prancis) yang berarti
membentuk.
Konstitusi
merupakan hukum yang lebih tinggi atau bahkan paling tinggi dan paling
fundamental sifatnya karena konstitusi tersebut sendiri merupakan sumber
legitimasi atau landasan autorisasi bentuk-bentuk hukum atau
peraturan-peraturan perundang-undangan lainnya. Sesuai dengan prinsip hukum
yang berlaku universal, maka agar peraturan-peraturan yang tingkatannya berada
dibawah undang-undang dasar dapat berlaku dan diberlakukan,
pertaturan-peraturan tersebut tidak boleh bertentangan dengan hukum yang lebih
tinggi.
2. Pengertian Hukum Tata
Negara
Hukum
Tata Negara sebagai suatu cabang ilmu hukum, telah lama dikembangkan sebagai
mata kuliah dan dijadikan bahan diskusi diberbagai fakultas hukum perguruan
tinggi di Indonesia.
Hukum
Tata Negara di Indonesia dikembangkan sebagai suatu cabang ilmu hukum yang amat
luas cakupannya, sehingga cakrawala pemikiran yang perlu dikembangkan di
dalamnya juga terbentang luas, tergantung bagaimana para mahasiswa dan sarjana
hukum yang menggelutinya berfikir dan bertindak dalam hubungannya dengan cabang
Ilmu Hukum Tata Negara itu.
3. Perkembangan Konstitusi
di Indonesia
Dalam
sejarah ketatanegaraan Indonesia ada empat macam Undang-Undang Dasar yang
pernah berlaku yaitu : (1) UUD 1945, yang berlaku antara 17 Agustus 1945 sampai
27 Desember 1949; (2) Konstitusi Republik Indonesia Serikat (3) UUD sementara
1950 (4) UUD 1945, yang berlaku sejak di keluarannya Dektrit Presiden 5 Juli
1959
4. Kedudukan Konstitusi didalam
Hukum
Tata Negara
Menurut Djokosoetono Hukum Konstitusi sama dengan Hukum
Tata Negara, Sedangkan
teori konstitusi lebih luas, karena mengkaji juga aspek politik dan sosial
budaya yang mempengaruhi hukum tata negara baik dalam teori maupun praktik.
DAFTAR PUSTAKA
A. Buku
Abas,
Wawan. Perkembangan Tata Negara
Indonesia. 1983. Bandung: Armico
Asshiddiqie,
Jimly. Hukum Tata Negara dan Pilar-Pilar
Demokrasi. 2011.
Jakarta:
Sinar Grafika
Asshiddiqie,
Jimly. Konstitusi dan Konstitusionalisme
Indonesia. 2011.
Jakarta:
Sinar Grafika
Atmadja,
Dewa Gede. Hukum Konstitusi. 2012.
Malang: Setara Press
Budiarjo, Miriam. Demokrasi di Indonesia. 1988. Jakarta: Gramedia
Hamidi,
Jazim, dkk. Teori Hukum Tata Negara.
2012. Jakarta: Salemba
Humanika
Huda,
Ni’matul. Hukum Tata Negara Indonesia.
2013. Jakarta: Raja Grafindo
Persada
Magnis-Suseno, Franz. Filsafat
Sebagai Ilmu Kritis. 1992. Jakarta: Kanisius
Manan,
Bagir. Teori dan Politik Konstitusi.
2003. Yogyakarta: FH UII Press
Thaib,
Dahlan. Teori dan Hukum Konstitusi.
2013. Jakarta: RajaGrafindo Persada
B. TAP MPR
Ketetapan
MPR Nol IX/MPR/1999 tentang Penugasan Badan Pekeja Majelis
Pemusyawaratan
Rakyat Republik Indonesia
Ketetapan MPR No. II/MPR/1999 tentang Peraturan Tata
Tertib Majelis
Permusyawaratan
Rakyat Republik Indonesia.
[1]Franz Magnis-Suseno, Filsafat Sebagai Ilmu Kritis, (Jakarta: Kanisius, 1992), hlm. 230
[2]Abas, Wawan.Perkembangan Tata
Negara Indonesia.(Bandung: Armico. 1983) Hlm.1
[4]Jazim Hamidi, dkk, Teori Hukum Tata Negara,
(Jakarta: Salemba Humanika, 2012), hlm.94
[5]Miriam Budiarjo, Demokrasi di Indonesia, (Jakarta: Gramedia, 1988), hlm. 96-97
[6]Dahlan Thaib, op.cit., hlm. 9
[7]Jazim Hamidi, dkk, op.,cit, hlm. 95-99
[8]Lima kesepakatan tersebut dilampirkan
dalam Ketetapan MPR Nol IX/MPR/1999 tentang Penugasan Badan Pekeja Majelis
Pemusyawaratan Rakyat Republik Indonesia untuk Melanjutkan Perubahan
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945
[9]Sidang Tahunan MPR baru dikenal pada masa
refomasi berdasarkan Pasal 49 dan Pasal 50 Ketetapan MPR No. II/MPR/1999
tentang Peraturan Tata Tertib Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik
Indonesia.
[10]Jazim Hamidi, dkk, op.,cit, hlm. 100-101
[11] Dahlan Thaib, dkk, Teori dan Hukum Konstitusi (Jakarta: Rajawali
Pers, 2013), hlm. 79-80
[12] Dahlan Thaib, dkk. Op.,cit,
hlm. 80-82
[13]Jimly asshiddiqie, Hukum Tata Negara dan Pilar-pilar Demokrasi, (Jakarta: Sinar
Grafika, 2011), hlm. 110-112
[14]Ni’matul Huda. Hukum Tata
Negara Indonesia.(Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2013), hlm. 132
[15] Jimly asshiddiqie, Konstitusi
dan Konstitusionalisme Indonesia (Jakarta: Sinar Grafika, 2010), Hlm. 32-40
[16] Ni’matul Huda, op., cit. hlm.
144 - 149
[17] Bagir Manan, Teori dan
Politik Konstitusi (Yogyakarta: FH UII Press, 2003), hlm. 11.
[18]Ni’matul Huda .Op., cit.
hlm. 150-154
Tidak ada komentar:
Posting Komentar