Jumat, 13 Februari 2015

Makalah Perkembangan Konstitusi dan Dinamika HTN di Indonesia


Perkembangan Konstitusi dan Dinamika Hukum Tata Negara di Indonesia

         A.   Pengertian Konstitusi
Istilah konsitusi berasal dari bahasa Prancis, constituer. Kata konstitusi berarti pembentukan yang berasal dari kata kerja, yaitu constituer (Prancis) yang berarti membentuk. Dalam pengertian ini, hal yang dibentuk adalah negara. Dengan demikian, konstitusi mengandung makna awal (permulaan) dari segala peraturan perundang-udangan tentang negara. Pemakaian istilah konstitusi yang dimaksudkan adalah pembentukan suatu negara atau menyusun dan menyatakan suatu negara.[3]
Konstitusi (constitution = bahasa latin) dalam negara adalah sebuah norma sistem politik dan hukum bentukan pada pemerintahan negara-biasanya dikodifikasikan sebagai dokumen tertulis. Dalam kasus bentukan negara, konstitusi memuat aturan dan prinsip-prinsip entitas politik dan hukum. Istilah ini merujuk secara khusus untuk menetapkan konstitusi nasional sebagi prinsip-prinsip dasar hukum, termasuk dalam bentukan struktur, prosedur, wewenang, dan kewajiban pemerintahan negara pada umumnya. Konstitusi umumnya merujuk pada penjaminan hak kepada warga masyarakatnya. Istilah konstitusi dapat diterapkan pada seluruh hukum yang mendefinisikan fungsi pemerintahan negara. Konstitusi pada umumnya bersifat kodifikasi, yaitu sebuah dokumen yang berisian aturan-aturan untuk menjalankan suatu organisasi pemerintahan negara, namun dalam pengertian ini, harus dimengerti bahwa tidak semua konstitusi berupa dokumen tertulis (formal). Menurut para ahlu ilmu hukum ataupun ilmu politik, konstitusi harus diterjemahkan ke dalam kesepakatan politik, negara, kekuasaan, pengambilan keputusan, kebijakan, distribusi, dan alokasi. Konstitusi bagi organisasi pemerintahan negara yang dimaksud memiliki beragam bentuk dan kompleksitas strukturnya, terdapat konstitusi politik atau hukum, tetapi mengandung pula arti konstitusi ekonomi.[4]
Wade dalam bukunya yang berjudul Constitutional Law mengatakan bahwa undang-undang dasar adalah naskah yang memaparkan rangka dan tugas-tugas pokok dari badan pemerintah suatu negara dan menentukan pokok-pokok cara kerja badan-badan tersebut. Jadi, pokok dasar dari sistem pemerintahan diatur dalam suatu undang-undang dasar. Sama halnya dengan Friedrich, ia mengatakan bahwa konstitutionalisme adalah gagasan bahwa pemerintah merupakan suatu kumpulan kegiatan yang diselenggarakan oleh dan atas nama rakyat, tetapi yang dikenakan beberapa pembatasan yang diharapkan akan menjamin bahwa kekuasaan yang dipelukan untuk pemerintahan itu disalahgunakan oleh mereka yang mendapat tugas memerintah.[5] Mereka memandang sudut kekuasaan negara tersebut dalam segi legislatif, eksekutif, dan yudikatif. Selanjutnya, Heller membagi konstitusi menjadi tiga, yaitu die politische verassung als gesellscgaftlich wirklichkei (konstitusi mencerminkan kehidupan politik di dalam masyarakat sebagai suatu kenyataan; mengandung pengertian politik dan sosiologis), dan die verselbstandigterechtverfassung (konstitusi merupakan suatu kesatuan kaidah yang hidup dalam masyarakat; mengandung pengertian yuridis), dan die geshereiben verfassung (konstitusi yang tertulis dalam suatu naskah sebagai undang-undang yang tertinggi yang berlaku dalam suatu negara).[6]Di sini, konstitusi dipandang tidak hanya bersifat yuridis semata, tetapi juga mengandung pengertian sosiologis dan politis.
Dewasa ini, istilah konsitusi sering diidentifikasi dengan suatu kodifikasi terhadap dokumen yang tertulis. Di Inggris, konstitusi yang dimiliki tidak dalam bentuk kodifikasi, tetapi berdasarkan pada yurisprudensi dalam ketatanegaraan negara Inggris. Konstitusi sebagai living organism tentungya harus mampu menyesuaikan diri dengan kondisi dan peubahan zaman.
Dalam konteks ini, mengutip rekomendasi yang dihasilkan oleh Commonwealth Human Right Initiatives, terdaoat sebelas prinsip pembuatan konstitusi yang terkait erat dengan partisipasi publik, yaitu legitimasi, inklusivitas, pemberdayaan masyarakat sipil, keterbukaan dan transparansi, aksesibilitas, pengkajian yang berkesinambungan, akuntabilitas, pentingnya proses, peran partai politik, peran masyarakat sipil, dan peran para pakar.
Menurut Thompson, secaa sederhana pertanyaan what is a constitution? Dapat dijawab bahwa “... a constitution is a document which contains the rules for the operation of an organization”. Organisasi dimaksud beragam bentuk dan kompleksitas strukturnya. Negara sebagai salah satu bentuk oganisasi pada umumnya selalu memiliki naskah yang disebut sebagai konstitusi atau undang-undang dasar. Hanya Inggis dan Israel saja yang sampai sekarang dikenal tidak memiliki satu naskah tertulis yang disebut dengan undang-undang dasar. Undang-undang dasar pada kedua negara ini tidak pernah dibuat, tetapi tumbuh menjadi konstitusi dalam pengalaman praktik ketatanegaraan. Namun, para ahli tetap dapat menyebut adanya konstitusi dalam konteks hukum tata negara Inggris.
Ciri utama konstitusi adalah fleksibel.Hukum konstitusi adalah hukum kesepakatan resmi tertinggi dan berlakunya suatu konstitusi sebagai hukum dasar yang mengikat didasarkan pada kekuasaan tertinggi atau prinsip kedaulatan yang dianut dalam suatu negara. Jika negara tersebut menganut paham kedaulatan rakyat, maka sumber legitimasi konstitusi tersebut adalah rakyat. Jika yang berlaku adalah paham kedaulatan raja, maka raja yang menentukan berlaku tidaknya suatu konstitusi. Hal inilah yang disebut oleh paa ahli sebagai constituent power yang merupakan kewenangan yang berada di luar dan sekaligus di atas sistem yang diaturnya.Oleh karena itu, di lingkungan negara-negara demokrasi, rakyatlah yang dianggap menentikan berlakunya suatu konstitusi.
Konstitusi NRI adalah atas kedaulatan rakyat, demikian bunyi alinea keempat pembukaan UUD 1945.Constituent Power mendahului konstitusi, sedangkan konstitusi mendahului organ pemerintahan yang diatur dan dibentuk berdasarkan konstitusi. Pengertian Constituent power berkaitan pula dengan hierarki hukum. Konstitusi merupakan hukum yang lebih tinggi atau bahkan paling tinggi dan paling fundamental sifatnya karena konstitusi tersebut sendiri merupakan sumber legitimasi atau landasan autorisasi bentuk-bentuk hukum atau peraturan-peraturan perundang-undangan lainnya. Sesuai dengan prinsip hukum yang berlaku universal, maka agar peraturan-peraturan yang tingkatannya berada dibawah undang-undang dasar dapat berlaku dan diberlakukan, pertaturan-peraturan tersebut tidak boleh bertentangan dengan hukum yang lebih tinggi.
Pengertian konstitusi selalu terkait dengan paham konstitusionalisme. Hamilton menyatakan bahwa “Constitutionalism is the name given to the trust which men repose in the power of words engrossed on parchment to keep a goverment in order”. Untuk tujuan to keep a goverment in order tersebut diperlukan pengaturan yang sedemikian rupa, sehingga dinamika kekuasaan dalam proses pemerintahan dapat dibatasi dan dikendalikan sebagaimana mestinya. Gagasan mengatur dan membatasi kekuasaan ini secara alamiah muncul karena adanya kebutuhan untuk merepon perkembangan peran relatif kekuasaan umum dalam kehidupan umat manusia.
Istilah konstitusionalisme pada zaman sekarang dianggap sebagai suatu konsep yang niscaya bagi setiap negara modern. Seperti dikemukakan oleh C.J. Friedrich, sebagaimana yang telah dikutip, “constitutionalism is an institutionalized system of effective, regularied restraints upon govermental action”. Basis pokoknya adalah kesepakatan umum atau persetujuanm (consesnsus) di antara mayoritas rakyat mengenai bangunan yang di idealkan berkenaan dengan negara. Organisasi negara tersebut diperlukan oleh warga masyarakat politik agar kepentingan mereka bersama dapat dilindungi atau dipromosikan melalui pembentukan dan mekanisme yang disebut negara.
Pada umumnya, kesepakatan yang menjamin tegaknya konstitusionalisme pada zaman modern dipahami bersandar pada tiga elemen kesepakatan, yaitu:
1.      Kesepakatan tentang tujuan atau cita-cita bersama
2.      Kesepakatan tentang the rule of law sebagai landasan pemerintahan atau penyelenggaraan negara
3.      Kesepakatan tentang bentuk institusi-institusi dan prosedur-prosedur ketatanegaraan.
Adapun konsensus pertama, yaitu berkenaan dengan cita-cita bersama sangat menentukan tegaknya konstitusi dan konsitusionalisme di suatu negara dalam konteks kehidupan bernegara. DI negara Indonesia, lambang negara adalah Garuda. Artinya, gabungan ruh damai dan dasar filosofis yang disebut sebagai Pancasila yang berarti lima sila atau lima prinsip dasar untuk mencapai atau mewujudkan empat tujuan bernegara. Kelima sila dalam pancasila dipakai sebagai dasar filosofis-ideologis untuk mewujudkan empat tujuan atau cita-cita ideal bernegaa, yaitu melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluuh tumpah darah Indonesia, meningkatkan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia bedasarkan kemerdekaan, perdamaian yang abadi, dan keadila sosial.
Selanjutnya, kesepakatan kedua adalah kesepakatan bahwa basis pemerintahan didasarkan atas aturan hukum dan konstitusi. Kesepakatan atau konsensus kedua ini juga sangat prinsipil karena dalam setiap negara harus ada keyakinan bersama bahwa apa pun yang hendak dilakukan dalam konteks penyelenggaraan negara haruslah didasarkan atas rule of the game yang ditentukan bersama. Istilah yang biasa digunakan untuk itu adalah the rule of the lawyang dipelopori oleh A.V. Dicey, seorang sarjana Inggis kenamaan, di Amerika Serikat, istilah ini bahkan dikembangkan menjadi jargon, yaitu The rule of law, and not of Man untuk menggambarkan pengertian bahwa hukumlah yang sesungguhnya memerintah atau memimpin dalam suatu negara, bukan manusia atau orang. Oleh karena itu, tanpa ada konsensus semacam itu, konstitusi tidak akan berguna karena ia akan sekedar berfungsi sebagai kertas dokumn yang mati, hanya bernilai semantik dan tidak berfungsi atau tidak dapat difungsikan sebagaimana mestinya.
Kesepakatan ketiga berkenaan dengan bangunan organ negara dan prosedur-prosedur yang mengatu kekuasaannya, hubungan-hubungan antarorgan negara tersebut satu sama lain, dan hubungan antara organ-organ negara tersebut dengan warga negara. Dengan adanya kesepakatan tersebut, maka isi konstitusi dapat dengan mudah dirumuskan karena benar-benar mencerminkan keinginan bersama berkenaan dengan institusi kenegaraan dan mekanisme ketatanegaraan yang hendak dikembangkan dalam kerangka kehidupan berkonstitusi. Kesepakatan-kesepakatan itulah yang dirumuskan dalam dokumen konstitusi yang diharapkan dapat dijadikan pegangan bersama untuk kurun waktu yang cukup lama. Para perancang dan perumus konstitusi tidak seharunya membayangkan konstitusi tersebut, bahkan naskah konstitusi tersebut akan sering diubah dalam wakti dekat. Konstitusi tidak sama dengan undang-undang yang dapat lebih mudah diubah. Oleh karena itu, mekanisme perubahan undang-undang dasar memang sudah seharusnya tidak diubah semudah mengubah undang-undang undang-undang. Sudah tentu, tidak mudahnya mekanisme perubahan undang-undang dasar tidak boleh menyebabkan undang-undang dasa tersebut menjadi terlalu kaku karena tidak dapat diubah. Konstitusi juga tidak boleh disakralkan dari kemungkinan perubahan seperti yang tejadi pada masa Orde Baru.
Keberadaan Pancasila sebagai falsafah kenegaraan atau staatidee (cita negara) yang berfungsi sebagai folosofische grondslag dan common platforms atau kalimatun sawa  di antara sesama warga masyarakat dalam konteks kehidupan bernegada dalam kesepakatan petama penyangga konstitusionalisme menunjukkan hakikat Pancasila sebagai ideologi terbuka. Terminologi Pancasila sebagai ideologi terbuka sesungguhnya telah dikembangkan pada masa Orde Baru. Namin dalam pelaksanaannyam, saat itu Pancasila lebih terlihat sebagai ideologi tertutup. Pancasila enjadi alat hegermoni yang secaa apriori ditentukan oleh elit kekuasaan untuk mengekang kebebasan dan melegitimasi kekuasaan. Kebenaran Pancasila pada saat itu tidak hanya mencakup cita-cita dan nilai dasar, tetapi juga meliputi kebijakan praktis operasional yang tidak dapat dpertanyakan, tetapi harus diterima dan tipatuhi oleh masyarakat.
Konsekuensi Pancasila sebagai ideologi terbuka adalah membuka ruang dalam membentuk kesepakatan masyaajat tentang cara untuk mencapai cita-cita dan nilai-nilai dasar tersebut. Kesepakatan tersebut adalah kesepakatan kedua dan ketiga sebagai penyangga konstitusionalisme, yaitu kesepakatan tentang the rule of the law sebagai landasan pemerintahan atau penyelenggaraan negara dan kesepakatan tentang bentuk institusi-institusi dan prosedur-prosedur ketatanegaraan. Kesepakatan-kesepakatan tersebut hanya mungkin dicapai jika sistem yang dikembangkan adalah sistem demokrasi.
Pancasila sebagai ideologi dalam konstitusi bangsa Indonesia memiliki perbedaan dengan sistem kapitalisme-liberal atauapun sosialisme-komunis. Pancasila mengakui dan melindungi, baik hak-hak indicidu maupun hak masyarakat dalam bidang ekonomi ataupun politik. Dengan demikian, ideologi kita mengakui secara selaras, baik kolektivisme maupun individualisme. Demokasi yang dikembangkan bukanlah demokrasi politik semata seperti dalam ideologi liberal-kapitalis, melainkan dmeokrasi ekonomi. Dalam sistem kapitalisme liberal, dasar perekonomian liberal, dasar perekonomian bukan usaha bersama dan kekeluargaan, melainkan kebebasan individual untuk berusaha. Sementara itu, dalam sistem etatisme, negara yang mendominasi perekonomian, bukan warga negara, baik sebagai individu maupun bersama-sama dengan warga negara lainnya.[7]
Konstitusi sebagai Dasar Hidup Bernegara
Tanggal 17 Agustus tahun 1945 adalah hari Proklamasi Indonesia dan UUD NKRI 1945 merupakan dokumen tertulis atau konstitusi negara kesatuan Republik Indonesia yang merupakan hukum dasar terbentuknya negara merdeka, bersatu, berdaulat, adil dan makmur berdasarkan Pancasila. Perubahan UUD 1945 sebagai agenda utama era reformasi mulai dilakuka oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) tahun 1999. Pada Sidang Tahunan MPR 1999, seluruh fraksi MPR membuat kesepakatan tentang arah perubahan UUD 1945.[8]
1.      Sepakat untuk tudak mengubah Pembukaan UUD 1945.
2.      Sepakat untuk mempertahankan bentuk Negara Kesatuan Republik Indonesia
3.      Sepakat untuk mempertahankan sistem presidensil
4.      Sepakat untuk memindahkan hal-hal normatif yang ada dalam Penjelasan UUD 1945 ke dalam pasal-pasal UUD 1945.
5.      Sepakat untuk menempuh cara adendum dalam melakukan amandemen terhadap UUD 1945.
Perubahan UUD 1945 kemudian dilakukan secara bertahap menjadi salah satu agenda sidang Tahunan MPR[9] dari tahun 1999. Perubahan kedua tahun 2000, perubahan ketiga tahun 2001, hingga perubahan keempat pada Sidang tahunan MPR tahun 2002 terjadi bersamaan dengan kesepakatan dibentuknya Komisi Konstitusi yang bertugas untuk melakukan pengkajian secara komprehensif tentang perubahan UUD 1945 berdasarkan ketatapan MPR No. I/MPR/2002 tentang Pmebentukan Komisi Konstitusi.
Perubahan-perubahan tersebut meliputi hampir keseluruhan materi UUD 1945. Jika naskah asli UUD 1945 berisi 71 butir ketentuan, maka setelah empat kali megalami perubahan, materi muatan UUD 1945 mencakup 199 butir ketentuan. Namun sesuai dengan kesepakatan MPR yang kemudian menjadi lampiran ketetapan MPR No. IX/MPR/1999, pembukaan UUD 1945 tidak akan diubah. Pembukaan UUD 1945 memuat cita-cita bersama sebagai puncak abstraksi yang mencerminkan kesamaan-kesamaan kepentingan di antara sesama warga masyarakat yang dalam kenyataannya harus hidup di tengan pluralisme atau kemajemukan.
Pusat Kajian Konstitusi (PKK) yang sudah terbentuk di berbagai universitas yang tersebat di seluruh Indonesia, sudah seyogianya dilibatkan untuk turut menyumbangkan kajian ilmiah bagi penyempurnaan UUD 1945 saat ini. Diharapkan hasil kajian akademis meeka dapat terhindar dari kepentingan politik praktis dan tetap menggali filosofi tujuan negaa Pancasila. Kiranya, kita semua harus mengingat kembali terhadap arti pentingnya gagasar dasar atas konstitusi yang dikemukakan oleh Patrick Henry, “The Constitution is not an instrument fo the goverment to restrain the people, but it is an instrument for the peolple to restrain the goverment”. Jadikanlah rakyat sebagai aspirasi dan jiwa dari konstitusi itu sendiri.[10]
Konstitusi Negara Indonesia, Suatu Suplemen
Undang-undang Dasar atau Konstitusi Negara Republik Indonesia disahkan dan ditetapkan oleh Pantia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) pada hari sabtu tanggal 18 Agustus 1945, yakni sehari setelah proklamasi kemerdekaan.
Istilah undang-Undang Dasar 1945 (UUD 1945), yang memakai angka “1945” dibelakang UUD, barulah timbul kemudian yaitu pada awal 1959, ketika tanggal 19 Februari 1959 Kabinet Karya mengambil kesimpulan dengan suara bulat mengenai “pelaksanaan demokrasi terpimpin dalam rangka kembali ke UUD 1945”. Kemudian keputusan pemerintah itu disampaikan ke piha konstituante pada 22 april 1959. Peristiwa ini dalam sejarah ketatanegaraan Indonesia dikenal dengan nama “ajakan pemerintah yang berbunyi secara cekak aos untuk kembali ke UUD 1945”.
Jadi pada saat disahkan dan ditetapkan UUD 1945 pada 18 Agustus 1945, ia hanya bernama “OENDANG-OENDANG DASAR”. Demikian pula, ketika UUD diundangkan dalam Berita Republik Indonesia Tahun II No. 7 tanggal 15 Februari 1946, istilah yang digunakan masih “oendang-oendang Dasar” tanpa tahun 1945.Baru kemudian dalam Dekrit Presiden 1959 memakai UUD 1995 sebagaimana yang diundangkan dalam Lembaran Negara No. 75 Tahun 1959.Hal ini perlu dikemukakan, mengingat titik focus pembahasan buku ini pada UUD 1945 (pernah dua kali masa berlakunya), dan bukan pembahasan pada UUD RIS (konstitusi RIS 1949) dan UUDS 1950.[11]
Jelaslah bagi penulis bahwa berdasarkan Ketetapan MPRS NO. XX/MPRS/1966 yang dimaksud UUD 1945 meliputi: pembukaan, Batang Tubuh yang terdiri dari 37 pasal, 4 pasal Aturan Peralihan dan 2 ayat Aturan Tabahan, serta Penjelasan otentik UUD. Adapun mengenai pernah berlakunya UUD 1945 dalam dua kurun waktu, dan UUD 1945 yang mana yang akan dipakai dalam penulisan ini, akan dibahas secara tersendiri dalam subbab berikut.
Berbicara tentang Undang-Undang Dasar suatu Negara, menarik sekali untuk diketahui, dalam kondisi Negara bagimana konstitusi itu lahir, siapa yang mempunyai kontribusi besar atas kelahiran konstitusi, hendaknya dibawa kemana oleh para perumus atau pendiri Negara (the founding father) cita-cita Negara itu digariskan. Disamping itu, dengan Undang-Undang Dasar akan diketahui tentang Negara itu, baik bentuk, susunan Negara maupun system pemerintahannya.
A.A.H Struycken berpendapat bahwa Undang-Undang Dasar sebagai Konstitusi konstitusi tertulis merupakan sebuah dokumen formal yang berisi:
  1. Hasil perjuangan politik bangsa di waktu yang lampau.
  2. Tingkat-tingkat tertinggi perkembangan ketatanegaraan bangsa.
  3. Pandangan tokoh-tokoh bangsa yang hendak diwuudkan baik untuk waktu sekarang maupun masa yang akan dating.
  4. Suatu keingin, dengan mana perkembangan kehidupan ketatanegaraan bangsa hendak dipimpin.
Undang-Undang Dasar 1945 sebagai konstitusi tertulis juga dituangkan dalam sebuah dokumen formal, dimana dokumen tersebut telah dipersiapkan jauh sebelum Indonesia merdeka, dan baru dirancang oleh Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI), dengan dua masa siding yaitu tanggal 29 Mei – 1 Juni 1945 dan tanggal 10 – 17 Juli 1945. Sebagai dokumen formal, UUD 1945 detetapkan dan disahkan pada tanggal 18 Agustus 1945 oleh Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia.
Pasca-Indonesia merdeka, Undang-Undang Dasar 1945 pernah berlaku dua kali dalam suasana ketatanegaraan dan kurun waktu yang berbeda. Bagaimana kronologis pemberlakuannya, akan diuraikan berikut ini.[12]

          B.   Pengertian Hukum Tata Negara
Hukum Tata Negara sebagai suatu cabang ilmu hukum, telah lama dikembangkan sebagai mata kuliah dan dijadikan bahan diskusi diberbagai fakultas hukum perguruan tinggi di Indonesia. Di asia dan afrika, misalnya setelah terjadinya pross de kolonisasi besar-besaran pasca perang dunia ke kedua, semua Negara yang baru merdeka juga melengkapi pembentukannya dengan suatu naskah kostitusi. Hal ini menyebabkan studi khusus mengenai konstitusi itu di berbagai Negara berkembang sejalan dengan perkembangan kehidupan kenegaraan dilingkungan masing-masing.
Di Indonesia dalam rangka persiapan kemerdekaan sebuah Negara berdaulat yang lepasdari penjajahan bangsa asing, pada tahun 1945 yang lalu, para tokoh-tokoh pergerakan nasional juga mempersiapkan suatu naskah konstitusi yang kamudian kita kenal dengan Undang-Undang Dasar 1945. UUD 1945 itu menjadi suatu naskah hukum dasar bagi bangsa Indonesia untuk menata kehidupan kenegaraan, dan bahkan seperti termuat dalam pasal 31, pasal 32, pasal 33, pasal 34 Undang-Undang Dasar 1945 itu sebenrnya menjadi hukum dasar bagi kehidupan social, ekonomi, dan kebudayaan di Indonesia.
Oleh karena itu, memperbincangkan Hukum Konstitusi yang di Indonesia lazim disebut Hukum Tata Negara, dalam konteks studi dan pendidikan hukum, menjadi suatu yang niscaya bagi setiap sarjana hukum. Setiap calon sarjana hukum harus memhamai benar Undang-Undang Dasar negaranya sendiri sebagai acuan dasar dari semua produk hukum  yang harus dipelajari. Apalagi dalam Undang-Undang Dasar 1945 itu, Negara Republik Indonesia disebut sebagai Negara yang berdasar atas hukum (Rechsstaat ataupun The Rule of Law). Konsekuensinya adalah segala prilaku manusia Indonesia dalam konteks kehidupan bernegara mengambil kira akan adanya Undang-Undang Dasar itu sebagai hukum dasar  tempat mengacunya semua tindakan dalam menata kehidupan bersama dalam masyarakat Indonesia yang adil dan beradab sebagai konsep mengenai masyarakat madani Indonesia (Indonesian civil society)
Sehubungan dengan itu, kedudukan dan peranan Ilmu Hukum Tata Negara itu dalam konteks pembangunan Indonesia, dapat kita lihat dari beberapa segi yaitu:
        a)      Dalam konteks perkembangan ilmu pengetahuan
        b)      Dalam konteks pendidikan
    c)  Dalam konteks penataan struktur kehidupan kenegaraan dan kemasyarakatan yang sangat diperlukan dalam rangka pelembagaan kehidupan kemasyarakatan, kebangsaan, kenegaraan dan wadah Negara Kesatuan Republik Indonsia yang berdasar Pancasila.
Pemahaman yang komprehensif mengenai kedudukan dan peranan Hukum Tata Negara ini penting agar para mahasiswa hukum sebagai calon sarjana hukum dapat mengerti lingkup kegunaan ilmu ini bagi mereka di masa yang akan datang. Bahwa Hukum Tata Negara di Indonesia dikembangkan sebagai suatu cabang ilmu hukum yang amat luas cakupannya, sehingga cakrawala pemikiran yang perlu dikembangkan di dalamnya juga terbentang luas, tergantung bagaimana para mahasiswa dan sarjana hukum yang menggelutinya berfikir dan bertindak dalam hubungannya dengan cabang Ilmu Hukum Tata Negara itu.[13]
Penataan Kehidupan Kenegaraan dan Kemasyarakatan
Hukum Tata Negara mempunyai peran penting dalam rangka penataan kehidupan kenegaraan dan kemasyarakatan atas dasar sistem yang diacu dalam konstitusi. Dalam konstitusi, diatur dasar-dasar penataan mengenai kekuasaan Negara, baik ata orang maupun atas benda. Kekuasaan atas orang dan atas benda itu sejak zaman Romawi Kuno sudah dibedakan melalui konsep imperium versus dominium. Dominium merupakan konsep mengenai the rule over things by the individuals, sedangkan imperium merupakan konsep mengenai the rule over all individuals by the prince.
Perbedaan ini terus dikembangkan dalam sejarah sampai sekarang, bahkan dilembagakan dalam studi ilmu hukum melalui pembedaan antara konsep hukum public dan hukum privat. Kedua bidang hukum ini dikembangkan dengan obyek yang terpisah satu sama lain. Hukum publik menyangkut kepentingan umum sedangkan hukum privat berkaitan dengan kepentingan perseorangan.Seperti itu dikatatakan oleh Montesquieu, dengan hukum public (political law) kita memperoleh kebebasan (liberety); sedangkan dengan hukum perdata (civil), kita memperoleh hak milik kita (property).
Masalah susunan  sosial dan ekonomi rakyat dianggap sebagai urusan peribadi yang tidak ada sangkut pautnya dengan Negara. Oleh karena itu, susunan social dan ekonomi masyarakat tidak mendapat tempat dan naskah konstitusi.
Namun demikian, terlepas dari adanya penyimpangan ini, yang jelas terlihat adanya kecenderungan bahwa Negara-negara Eropa Timur pada umumnya mencantumkan ketentuan mengenai tata sosial dan ekonomi ini secara tegas dalam konstitusinya. Sedangkan dalam konstitusi Negara-negara Eropa Barat, pada umumnya tidak memuat soal kekuasaan Negara dibidang ekonomi itu dalam konstitusinya. Hal ini, sebenernya dapat dihubungkan denaga cara berpikir masyarakat Eropa Timur yang bersifat sosialistis atau karena adanya faktor ideology Negara yang komunistis, yang anti liberalism dan individualisme, sehingga secara politik semua warga negaara mempunyai otonominya sendiri-sendiri dan secara ekonomis kehidupan mereka tidak terlalu memerlukan atau menuntut peranan Negara. Malahan, pada mula perkembangannya, paham ini justru menghendaki peranan Negara mungkin.
Dalam kaitannya dengan ketentuan tata perekonomian itu, timbul pertanyaan sejauh mana hal itu memperlihatkan dianutnya pengertian bahwa kedaulatan itu tidak saja meliputi kedaultan politik, tetapi juga dan ekonomi sekaligus. Benarkah Negara-negara Eropa Barat, pada umumnya, memahami bahwa kedaulata itu meliputi pula dimensi yag bersifaat ekonomis. Untuk menyebut beberapa contoh, berikut ini dapat diperbandingkan struktur atau susunan dari kedua jenis konstitusi tersebut diatas.

          C.   Perkembangan Konsitusi di Indonesia
Dalam sejarah ketatanegaraan Indonesia ada empat macam Undang-Undang Dasar yang pernah berlaku yaitu : (1) UUD 1945, yang berlaku antara 17 Agustus 1945 sampai 27 Desember 1949; (2) Konstitusi Republik Indonesia Serikat (3) UUD sementara 1950 (4) UUD 1945, yang berlaku sejak di keluarannya Dektrit Presiden 5 Juli 1959.[14]
Undang-Undang Dasar 1945
UUD 1945 pertama kali disahkan berlaku sebagai konstitusi negara Indonesia dalam sidang Panitia Persiapan Kemerdekaan Indoneisa pada tanggal 18 agustus 1945, yaitu sehari setelah kemerdekaan negara Republik Indonesia diproklamasikan oleh Soekarno dan Moch Hatta pada tanggal 17 agustus 1945. Naskah UUD 1945 ini pertama kali dipersiapkan oleh satu badan bentukan pemerintah balatentara jepang yang di beri nama Dokuritsu Zyunbi Tyoosakai yang dalam bahasa Indonesia disebut “Badan Penyelidik Usaha-Usaha Persiapan Kemerdekan Indonesia” (BPUPKI). Pimpinan dan anggota badan ini dilantik oleh pemerintah balatentara jepang pada tanggal 28 Mei 1945 dalam rangka memenuhi janji Pemerintah Jepang di depan parlemen (diet) untuk memberikan kemerdekaan kepada bangsa Indonesia. Namun, setelah pembentukannya, badan ini tidak hanya melakukan usaha-usaha persiapan kemerdekaan sesuai dengan tujuan pembentukannya, tetapi malah mempersiapkan naskah Undang-undang Dasar sebagai dasar untuk mendirikan negara Indonesia merdeka.
Badan Penyeilidik Usaha-Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) ini beranggotakan 62 orang, diketuai oleh K.R.T Radjiman Wedyodiningrat, serta Itbangse Yosio dan Raden Panji Suroso, masing-masing sebagai wakil ketua. Persidangan badan ini dibagi dalam dua periode, yaitu masa sidang pertama dari tanggal 29 Mei sampai dengan  1 Juni 1945, dan masa sidang kedua dari tanggal 10 Juli sampai 17 Juli 1945. Dalam kedua masa sidang itu, fokus pembicaraan dalam siding-sidang BPUPKI langsung tertuju pada upaya mempersiapkan pembentukan sebuah negara merdeka. Hal ini terlihat selama masa persidangan pertama, pembicaraan tertuju pada soal philosofische grondslag, dasar falsafah yang harus dipersiapkan dalam rangka negara Indonesia merdeka. Pembahasan mengenai hal-hal teknis tentang bentuk negara dan pemerintahan baru dilakukan dalam masa persidangan kedua dari anggal 10 Juli sampai dengan 17 Agustus 1945.
Yang terpenting disadari adalah behawa keberadaan UUD 1945 itu sesungguhnya memang bersifat sementara dan dimaksudkan sebagai UUD untuk sementara waktu saja. Semangat demikian mewakili sikap dan pandangan the founding fathers sendiri mengenai naskah UUD 1945. Karena semangat demikian itu, ditambah pula oleh kenyataan sebagai negara yang baru merdeka, masih harus melakukan banyak hal yang tidak sepenuhnya dapat diikat oleh aturan-aturan konstitusional yang ketat, maka UUD 1945 memang tidak selalu dijadikan referensi. Misalnya, menurut ketentuan UUD 1945, sistem pemerintahan yang dianut adalah sistem presidensiil. Atas dasar itu, pada tanggal 2 september 1945 ditentukanlah susunan cabinet pertama di bawah tanggung jawab Presiden soekarno. Akan tetapi, baru dua bulan setelah itu, yaitu tepatnya pada tanggal 14 November 1945, Pemerintah mengeluarkan Maklumat yang berisi perubahan sistem Kabinet dari Sistem presidensiil ke sistem parlementer.
Konstitusi RIS 1945
Kepergian Pemerintah Balatentara Jepang dari tanah Air di manfaatkan oleh Pemerintah Belanda untuk menjajah kembali Indonesia. Pemerintah Belanda menerapkan poltik adu domba dengan cara mendirikan dan mensponsori berdirinya beberapa negara kecil di berbagai wilayah nusantara, seperti Sumatra,Indonesia Timur Pasundan, Jawa Timur, dan sebagainya.
Sejalan dengan hal itu, tentara Belanda melakukan Agresi I pada tahun 1947 dan Agresi II pada tahun 1948 untuk maksud kembali menjajah Indonesia. Dalam keadaan terdesak, atas Pengaruh Perserikatan Bangsa-bangsa, pada tanggal 23 agustus 1949 sampai dengan tanggal 2 November 1949 diadakan Konferensi Meja Bundar di Den Hag. Konferensi ini dihadiri oleh wakil-wakil dari Republik Indonesia dan Bijeenkomst voor Federal Overleg (BFO) serta wakil Nederland dan komisi Perserikatan Bangsa-Bangsa untuk Indonesia.
Konferensi Meja Bundar tersebut berhasil menyepakati tiga hal, yaitu sebagai berikut.
1.      Mendirikian negara Republik Indonesia Serikat.
2.      Penyerahan kedaulatan kepada RIS yang berisi tiga hal, yaitu (a.) piagam penyerahan kedaulatan dari kerajaan Belanda kepada Pemerintahan RIS; (b) status uni dan; (c) persetujuan perpindahan.
3.      Mendirikan uni antara Republik Indonesia Serikat dengan Kerajaan Belanda.
Naskah konstitusi Republik Indonesia serikat disusun bersama oleh delegasi Republik Indonesia dan dilegasi BFO ke konferensi Meja Bundar itu. Selanjutnya, Konstitusi RIS dinyatakan berlaku mulai tanggal 27 Desember 1949.
Dengan berdirinya negara Republik Indonesia Serikat berdasarkan konstitusi RIS Tahun 1949 itu, wilayah Republik Indonesia sendiri masih tetap ada di samping negara federal Republik Indonesia Serikat. Konstitusi RIS yang disusun dalam rangka konferensi Meja Bundar di Den Haag pada tahun 1949 itu, pada pokoknya juga dimaksudkan sebagai UUD yang bersifat sementara. Disadari bahwa lembaga yang membuat dan menetapkan UUD itu tidaklah representative. Oleh karena itu, dalam  pasal 186 Konstitusi RIS ini ditegaskan ketentuan bahwa konstituante bersama-sama dengan Pemerintah selekas-lekasnya menetapkan Konstitusi Republik Indonesia Serikat. Dari ketentuan Pasal 186 ini, jelas sekali artinya bahwa konstitusi RIS 1949 yang ditetapkan di den hag itu hanyalah bersifat sementara saja.
Undang-Undang Dasar Sementara 1950
Dalam rangka persiapan ke arah itu, untuk kepeluan menyiapkan satu naskah Undang-Undang Dasar, dibentuklah suatu Panitia bersama yang akan menyusun rancangannya. Setelah selesai, rnerancangan naskah Undang-Undang Dasar itu kemudian disahkan oleh Badan Pekerja Komite Nasional Pusat pada tanggal 12 Agustus 1950, dan oleh Dewan Perwakilan Rakyat dan Senat Republik Indonesia Serikat pada tanggal 14 Agustus 1950. Selanjutnya UUD baru ini diberlakukan secara resmi mulai tanggal 17 Agustus 1950, yaitu dengan ditetepkannya Undang-Undang No.7 Tahun 1950. UUDS 1950 ini bersifat mengganti, sehingga isinya tidak hanya mencerminkan perubahan terhadap Konstitusi Republik Indonesia Serikat Tahun 1949, tetapi menggantikan naskah Konstitusi RIS itu dengan naskah baru sama sekali dengan nama Undang-Undang Dasar Sementara Tahun 1950.
Sayangnya, majelis Konstituante ini tidak atau belum sampai berhasil menyelesaikan tugasnya untuk menyusun Undang-Undang Dasar baru ketika Presiden Soekarno Berkesimpulan bahwa Konstituante telah gagal, dan atas dasar itu ia mengeluarkan Dekrit tanggal 5juli 1959 yang memberlakukan kembali UUD 1945 sebagai UUD negara Republik Indonesia selanjutnya. Memang kemudian timbul kontroversi yang luas berkenaan dengan status hukum berlakunya Dekrit Presiden yang dituangkan dalam bentuk keputusan Presiden itu sebagai tindakan hukum yang sah untuk memberlakukan kembali Undang-Undang Dasar 1945.
Terlepas dari kontroversi itu, yang jelas, sejak Dekrit 5 Juli 1959 sampai sekarang, UUD 1945 terus berlaku dan diberlakukan sebagai hukum dasar. Sifatnya masih tetap sebagai UUD sementara.[15]
Pada periode UUDS 1950 ini diberlakukan system Demokrasi Parlementer yang sering disebut demokrasi liberal. Pada periode ini cabinet selalu silih berganti, sehingga pembangunan tidak berjalan lancar karena masing-masing dari partai lebih memperhatikan kepentingan partai atau golongannya.
Setelah Negara RI dengan UUDS 1950 dan system demokrasi liberal yang di alami rakyat Indonesia hamper 9 tahun, maka rakyat Indonesia sadar bahwa UUDS 1950 dengan system demokrasi liberal tidak cocok karena tidak sesuai dengan jiwa pancasila dan UUD 1945.
UUD 1945 Pasca Dekrit Presiden 5 Juli 1959
Salah satu berkah dari reformasi adalah perubahan UUD 1945. Sejak keluarnya dekrit 5 juli 1959 yang memerintahkan kembali ke UUD 1945 sampai berakhirnya kekuasaan presiden Soeharto, praktis UUD 1945 belum pernah di rubah untuk disempurnakan. Soekarno dengan demokrasi terpimpinnya bukan menjungjung tinggi nilai kedaulatan rakyat, tetapi yang di jungjung tinggi adalah kedauatan pemimpin, itulah yang sagat dominan. Era ini melahirka system diktaktor dalam kepemimpinan Negara.Presiden Soekarno telah gagal keluar dari piliahan dilematisnya antara mengembagkan demokrasi melalui system multi partai dengan keinginan untuk menguasai seluruh partai dalam rangka mempertahankan kekuasaannya.
Gagasan perubahan UUD 1945 menjadi tuntunan yang tidak bisa dielakan lagi. Mengapa UUD 1945 harus dilakukan peubahan bagaimana alasan dapat dikemukakan mengapa perubahan  itu penting dan harus dilakukan. Secara filosofis, pentingnya perubahan UUD 1945 adalah pertama ,karena UUD 1945 adalah moment opname dari berbagai kekuatan politik dan ekonomi yang dominan pada saat dirumuskannya konstitusi itu. Setelah 54 tahun, tentu terdapat berbagai perubahan baik di tingkat nasional maupun di tinggkat global. Hal ini tentu saja belum tercakup didalam UUD 1945 karen saat iu belum tampak perubahan tersebut. Kedua, UUD 1945 disusun oleh manusia sesuai kodratnya tidak akan pernah sampai kepada tingkat kesempurnaan. Pekerjan yang dilakukan manusia tetap memiliki berbagai kemungkinan kelemahan maupun kekurangan.
Secara yuridis, para perumus UUD 1945 sudah menunjukan kearifan bahwa apa yang mereka lakukan ketika UUD 1945 disusun tentu akan berbeda kondisinya dimasa yang akan datang dan suatu saat mungkin akan mengalami perubahan. Baik dilihat dari sejarah penyusunan maupun sebagai produk hukum yang mencerminkan pikiran dan kepentingan yang ada pada saat itu, UUD akan aus dimakan masa apabila tidak diadakan pembaruan sesuai dengan dinamika kehidupan masyarakat, berbangsa, dan bernegara di bidang politik, ekonomi, social maupun budaya.
Untuk itu mereka (perumus UUD 1945) membuat pasal  perubahan didalan UUD 1945, yaitu pasal 37. Tetapi dalam ketentuan dalam pasal 37 sangat simple karena hanya mengatur segi pengambilan keputusan belaka,sehingga sulit untuk di terapkan karena tidak dijelaskan bagian mana saja yang boleh dan yang tidak bolrh untuk di ubah, bagaimana cara mengubahnya dan seterusnya. Tidak ada ketentuan lainmenyangkut perubahan UUD 1945 sebab tambahan muncul kemudian, yaitu melalu interprestasi historis dan filosofis oleh ketetapan MPR no.XX/MPRS/1966, bahwa pembukaan UUD 1945 tidak dapat diubah. MPR hasil pemilu 1999 juga bersepakat untuk tidak merubahnya.[16]
Dorongan memperbaharui atau mengubah UUD 1945 didasarkan pula pada kenyataan bahwa UUD 1945 sebagai subsistem tatanan konstitusi dalam pelaksanaanya berjalan tidak sesuai dengan staatside mewujudkan Negara berdasarkan konstitusi, seperti tegaknya tatanam demokrasi, Negara berdasarkan atas hukum yang menjamin hal-hal seperti hak asasi manusia, kekuasaan kehakiman yang merdeka, serta keadilan social bagi seluruh rakyat Indonesia. Hal yang terjadi adalah etatisme, otoriterisme atau kediktaktoran yang menggunakn UUD 1945 sebagai sandaran.[17]
Di tenggah proses perubahan UUD 1945, PAH I meyusun kesepakatan dasar berkaitan dengan perubahan UUD 1945. Kesepakatan dasar itu sendiri dari lima butir yaitu :
1.      Tidak mengubah pembukaan UUD 1945;
2.      Tetap memperthankan Negara Kesauan Republik Indonesia;
3.      Mempertegas sistem pemerintahan presidensial;
4.      Penjelasan UUD 1945 ditiadakan serta hal-hal normative dalam dalam penjelasan dimasukan kedalam pasal-pasal;
5.      Perubahan dilakukan dengan cara “adendum”
Dalam pasal-pasal UUD 1945 tidak ada satu pasalpun yang melarang untuk mengubah pembukaan UUD 1945. Akan tetapi oleh sebagian besar anggota MPR sebagaimana diuraikan di atas, disepakati pembukaan UUD 1945 sebagai cita-cita luhur bangsa Indonesia sehingga tidak boleh diubah serta dipandang sudah final. Pembukaan UUD 1945 memuat dasar filosofis dan dasar normative yang mendasari seluruh pasal dalam UUD 1945. Mengandung staatside berdirinya Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), tujuan  (haluan) Negara , serta dasar Negara yang harus tetap di pertahankan.
Kesepakatan dasar untuk mempertegas sistem pemerintahan presidensial bertujuan untuk memperkukuh sistem pemerintahan yang stabil dan demokratis yang dianut oleh Republik Indonesia dan telah dipilih oleh pendiri Negara pada tahun 1945. Dalam sistem ini terdapat prinsip penting yaitu  : (1) Presiden dan Wakil Presiden merupakan satu institusi penyelenggaraan kekuasaan eksekutif Negara tertinggi dibawah Undang-Undang Dasar. (2) Presiden dan Wakil Presiden dipilih oleh rakyat dank arena itu secara poliik tidak bertanggung jawab kepada Majelis Permusyawaratan Rakyat atau lembaga parlemen, melainkan bertanggung jawab langsung kepada rakyat yang telah memilihnya. (3) Presiden dan Wakil Presiden dapat dimintakan pertanggungjawabannya secara hukum apabila Presiden dan Wakil Presiden melakukan pelanggaran hukum dan konstitusi. (4) Para mentri adalah pembantu presiden. Mentri diangkat dan diberhentikan oleh Presiden karena itu bertanggung jawab kepada Presiden, bukan dan tidak bertanggung jawab kepada parlemen. (5) untuk membatasi kekuasaan Presiden yang kedudukanya dalam system presidensial sangat kuat sesuai kebutuhan untuk menjamin stabilitas pemerintahan, ditentukan pula bahwa masa jabatan Presiden lima tahunan tidak boleh dijabat oleh orang yang sama lebih dari dua masa jabatan.[18]
Dalam keempat periode berlakunya ke empat macam UUD itu, UUD 1945 berlaku dalam dua kurun waktu. Kurun waktu pertama telah berlaku UUD 1945 sebagaimana di undangkan dalam berita Republik Indonesia tahun II No.7. Kurun waktu kedua berlaku sejak presiden Soekarno mengeluarkan dekrit presiden 5 juli 1959 sampai sekarang. Melalui dekrit itu, telah dinyatakan berlakunya kembali UUD 1945.
Pada masa ini terdapat berbagai penyimpangan UUD 1945, diantaranya :
1.      Presiden mengangkat ketua dan wakil ketua MPR atau DPR dan MA serta wakil ketua DPA menjadi menteri negara
2.      MPRS menetapkan Soekarno sebagai presiden seumur hidup
Pengertian Amandemen UUD 1945
Secara etimologis, amandemen berasal dari Bahasa Inggris :“To Amend” diartikan sebagai To Make Better, To Remove The Faults (untuk menjadikannya lebih baik, dan menghapuskan kesalahan-kesalahan). Selanjutnya amandement diartikan sebagai A Change For The Better, A Correction Of Error (merubahnya agar lebih baik, memeriksa yang salah).
Menurut Sujatmiko, amandemen yang pokok itu tidak serampangan dan merupakan hal yang serius. Konstitusi itu merupakan aturan tertinggi bernegara. Beliau berpendapat bahwa konstitusi di negara kita belum sepenuhnya sempurna.Jika ingin menyempurnakan konstitusi satu-satunya pilihan ialah amandemen.
Dari beberapa referensi di atas amandemen haruslah dipahami sebagai penambahan, atau perubahan pada sebuah konstitusi yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari naskah aslinya, dan diletakkan pada dokumen yang bersangkutan.Pemahaman lebih lanjut adalah amandemen bukan sekedar menyisipkan kata-kata atau perihal baru dalam teks.
Di sisi lain, amandemen bukan pula penggantian. Mengganti berarti melakukan perubahan total dengan merumuskan konstitusi baru mencakup hal-hal mendasar seperti mengganti bentuk negara, dasar negara, maupun bentuk pemerintahan. Dalam amandemen UUD 1945 kiranya jelas bahwa tidak ada maksud-maksud mengganti dasar negara Pancasila, bentuk negara kesatuan, maupun bentuk pemerintahan presidensiil.
Salah satu bentuk komitmen untuk tidak melakukan perubahan terhadap hal-hal mendasar diatas adalah kesepakatan untuk tidak melakukan perubahan atas Pembukaan UUD 1945. Dari penjelasan tersebut jelas bahwa yang harus mendasari Amandemen UUD 1945 adalah semangat menyempurnakan, memperjelas, memperbaiki kesalahan, dan melakukan koreksi terhadap Pasal-Pasal yang ada, tanpa harus melakukan perubahan terhadap hal-hal yang mendasar dalam UUD 1945 itu sendiri.

Alasan dan Kesepakatan Amandemen UUD 1945
Berikut adalah alasan-alasan terjadinya perubahan (amandemen) dalam UUD 1945.
1.     Lemahnya checks and balances (koreksi dan menyeimbangkan) pada institusi-institusi ketatanegaraan.
2.    Executive heavy, yaitu kekuasaan terlalu dominan berada di tangan Presiden (hak prerogatif dan kekuasaan legislatif)
3.    Pengaturan terlalu fleksibel (Pasal 7 UUD 1945 sebelum amandemen)
4.    Terbatasnya pengaturan jaminan akan HAM
5.    Segi historis, pembuatan UUD 1945 ditetapkan dalam suasana tergesa-gesa, sehingga memuat banyak kekurangan.
6.      Segi substansi dan isi UUD 1945, di mana UUD 1945 memiliki keterbatasan dan kelemahan.
7.      Segi sosiologis, yaitu adanya amanat dari rakyat untuk melakukan amandemen.
Berdasarkan alasan-alasan di atas, maka terbentuklah kesepakatan-kesepakatan mengenai amandemen UUD 1945, diantaranya sebagai berikut:
1.   Amandemen dilakukan oleh antar fraksi MPR.
2.   Amandemen terdiri dari pembukaan dan batang tubuh mempunyai kedudukan berlainan, namun terjalin dalam hubungan bersifat kausal organis.
3.   Kesepakatan antara fraksi MPR dalam amandemen UUD 1945, antara lain sebagai berikut.
a. Tidak mengubah pembukaan UUD 1945.
b. Tetap mempertahankan NKRI.
c. Tetap mempertahankan sistem presidesial.
d. Bagian penjelasan UUD 1945 yang normatif, dimasukan dalam batang tubuh.
e. Perubahan addendum, yaitu satu kesatuan antara perubahan yang diubah dengan yang tidak diubah.

Sejarah Amandemen UUD 1945
           1.      Amandemen I
Amandemen yang pertama kali ini disahkan pada tanggal 19 Oktober 1999 atas dasar SU MPR 14-21 Oktober 1999. Amandemen yang dilakukan terdiri dari 9 Pasal, yakni: Pasal 5,  Pasal 7,  Pasal  9, Pasal 13, Pasal 14, Pasal 15, Pasal 17, Pasal 20 dan  Pasal  21.
Inti dari amandemen pertama ini adalah pergeseran kekuasaan Presiden yang dipandang terlalu kuat (executive heavy).

          2.       Amandemen II
Amandemen yang kedua disahkan pada tanggal 18 Agustus 2000 dan disahkan melalui sidang umum MPR 7-8 Agustus 2000. Amandemen dilakukan pada 5 Bab dan 25 Pasal. Berikut ini rincian perubahan yang dilakukan pada amandemen kedua.
Pasal 18, Pasal 18A, Pasal 18B, Pasal 19, Pasal 20, Pasal 20A, Pasal 22A, Pasal 22B, Pasal 25E, Pasal 26, Pasal 27, Pasal 28A, Pasal 28B, Pasal 28C, Pasal 28D, Pasal 28E, Pasal 28F, Pasal 28G, Pasal 28H, Pasal 28I, Pasal 28J, Pasal 30, Pasal 36A, Pasal 36B, Pasal 36C.
BAB IXA, BAB X, BAB XA, BAB XII, dan BAB XV.
Inti dari amandemen kedua ini adalah Pemerintah Daerah, DPR dan Kewenangannya, Hak Asasi Manusia, Lambang Negara dan Lagu Kebangsaan.

          3.       Amandemen III
Amandemen ketiga disahkan pada tanggal 10 November 2001 dan disahkan melalui ST MPR 1-9 November 2001. Perubahan yang terjadi dalam amandemen ketiga ini terdiri dari 3 Bab dan 22 Pasal. Berikut ini rincian dari amandemen ketiga.
Pasal 1, Pasal 3, Pasal 6, Pasal 6A, Pasal 7A, Pasal 7B, Pasal 7C, Pasal 8, Pasal 11, Pasal 17, Pasal 22C, Pasal 22D, Pasal 22E, Pasal 23, Pasal 23A, Pasal 23C, Pasal 23E, Pasal 23F, Pasal 23G, Pasal 24, Pasal 24A, Pasal 24B, Pasal 24C.
BAB VIIA, BAB VIIB, dan BAB VIIIA.
Inti perubahan yang dilakukan pada amandemen ketiga ini adalah Bentuk dan Kedaulatan Negara, Kewenangan MPR, Kepresidenan, Keuangan Negara, Kekuasaan Kehakiman.

4.      Amandemen IV
Sejarah amandemen UUD 1945 yang terakhir ini disahkan pada tanggal 10 Agustus 2002 melalui ST MPR 1-11 Agustus 2002. Perubahan yang terjadi pada amandemen ke-4 ini terdiri dari 2 Bab dan 13 Pasal.
Pasal 2, Pasal 6A, Pasal 8, Pasal 11, Pasal16, Pasal 23B, Pasal 23D, Pasal 24, Pasal 31, Pasal 32, Pasal 33, Pasal 34, Pasal 37.
BAB XIII dan BAB XIV.
Inti Perubahan amandemen ini DPD sebagai bagian MPR, Penggantian Presiden, pernyataan perang, perdamaian dan perjanjian, mata uang, bank sentral, pendidikan dan kebudayaan, perekonomian nasional dan kesejahteraan sosial, perubahan UUD.

Tujuan Amandemen UUD 1945
Dari pembahasan di atas, dapat disimpulkan bahwa tujuan dari amandemen UUD 1945 ialah untuk menyempurnakan UUD yang sudah ada agar tetap sesuai dengan perkembangan zaman.Adapun amandemen yang dilakukan bertujuan untuk membawa bangsa ini menuju perubahan yang lebih baik di berbagai bidang dengan senantiasa selalu memperhatikan kepentingan rakyat.
Tujuan amandemen UUD 1945 menurut Husnie Thamrien, adalah sebagai berikut:
1.   Untuk menyempurnakan aturan dasar mengenai tatanan negara agar dapat lebih mantap dalam mencapai tujuan nasional serta menyempurnakan aturan dasar mengenai jaminan dan pelaksanaan kekuatan rakyat,
2.   Memperluas partisipasi rakyat agar sesuai dengan perkembangan paham demokrasi,
3.   Menyempurnakan aturan dasar mengenai jaminan dan perlindungan hak agar sesuai dengan perkembangan HAM dan peradaban umat manusia yang menjadi syarat negara hukum,
4.   Menyempurnakan aturan dasar penyelenggaraan negara secara demokratis dan modern melalui pembagian kekuasan secara tegas sistem check and balances yang lebih ketat dan transparan dan pembentukan lembaga-lembaga negara yang baru untuk mengakomodasi perkembangan kebutuhan bangsa dan tantangan jaman,
5.   Menyempurnakan aturan dasar mengenai jaminan konstitusional dan kewajiban negara memwujudkan kesejahteraan sosial mencerdaskan kehidupan bangsa, menegakkan etika dan moral serta solidaritas dalam kehidupan bermasyarakat berbangsa dan bernegara sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan dalam perjuangan mewujudkan negara kesejahteraan,
6.   Melengkapi aturan dasar dalam penyelenggaraan negara yang sangat penting bagi eksistensi negara dan perjuangan negara mewujudkan demokrasi,
7.   Menyempurnakan aturan dasar mengenai kehidupan bernegara dan berbangsa sesuai dengan perkembangan aspirasi kebutuhan dan kepentingan bangsa dan negara Indonesia ini sekaligus mengakomodasi kecenderungannya untuk kurun waktu yang akan datang.

         D.   Kedudukan Konstitusi didalam Hukum Tata Negara
Diantara Para ahli hukum paling sedikit ada empat pandangan dalam memahami kedudukan atau keterkaitan antara “hukum tata negara” dan “hukum konstitusi”, dapat dikaji seperti dibawah ini.
Pertama, Djokosoetono, lebih menyukai penggunaan istilah Jerman, Vefassunglehre (Teori Konstitusi) daripada istilah Vefassungrecht (Hukum Tata Negara Positif). Vefassunglehre atau “teori konstitusi” menjadi dasar untuk mempelajari Hukum Tata Negara dalam arti positif, yaitu “hukum tata negara Indonesia”. Dalam membedakan “teori konstitusi” dan “hukum konstitusi”, ia mengemukakan bahwa ”teori konstitusi” lebih luas lingkup kajiannya daripada hukum konstitusi”, karena teori konstitusi cakupan kajiannya selain mengkaji persoalan-persoalan yang berdimensi yuridis, juga mengkaji masalah-masalah yang berdimensi non-yuridis, yakni faktor-faktor kekuataan riil (reele-machsfactoren, istilah Hoetink) atau keadaan alam dan situasi budaya (Natur und Kulturbedingungen, istilah Herman Heller) yang mempengaruhi penerapan norma atau kaidah-kaidah ketatanegaraan. Di balik itu Verfassungrecht  adalah “hukum tata negara dalam arti positif atau “Hukum Konstitusi” hanya mengkaji dogmatika hukum tata negara.
Jadi Menurut Djokosoetono Hukum Konstitusi sama dengan Hukum Tata Negara, Sedangkan teori konstitusi lebih luas, karena mengkaji juga aspek politik dan sosial budaya yang mempengaruhi hukum tata negara baik dalam teori maupun praktik.
Kedua, diantara ahli hukum (Bagir Manan; 2004; 5), berpendapat bahwa istilah “Hukum Tata Negara” yang berasal dari terjemahan bahasa Inggris Constitutional Law dikatakan identik atau sama dengan “Hukum Konstitusi”.
Ketiga, pendapat yang secara jelas atau tajam membedakan Hukum Tata Negara dan Hukum Konstitusi, didasarkan pada pandangan bahwa dari segi istilah hukum tata negara dianggap lebih luas daripada hukum konstitusi. Hukum Konstitusi dipandang lebih sempit, karena hanya membahas hukum dalam perspekti teks undang-undang dasar. Di balik itu Hukum Tata Negara, kajiannya tidak hanya terbatas pada undang-undang dasar, tetapi juga mengkaji faktor-faktor non-hukum yang mempengaruhi penyelenggaraan kekuasaan negara. (Jimli Asshiddiqie; 2006:3)
Keempat, jika dicermati perbedaan Hukum Tata Negara dan Hukum Konstitusi tidak prinsipil, akan tetapi hanya perbedaan gradual. Perbedaan gradual itu dapat dicermati dari dua sisi, yaitu:
1.      Dari segi focus of interest (pusat perhatian) atau hampiran, Hukum Konstitusi, fokus pada studi norma-norma atau kaidah-kaidah teks undang-undang dasar, sedangkan, hukum tata negara, fokus pada studi kekuasaan negara, yakni tentang tugas dan wewenang lembaga-lembaga negara termasuk pembagian kekuasaan, atau prinsip pemisahan kekuasaan negara dengan asas “cheks and balance”.
2.      Dari sudut pendalaman studi, karena begitu kompleks masalah-masalah ketatanegaraan, maka “Hukum Konstitusi” dapat dikatakan merupakan studi pendalaman terhadap konstitusi dari perspektif Hukum Tata Negara dalam arti sempit.
Dalam kaitan pendapat keempat, dapat dijadikan acuan pandangan Philipus M. Hadjon (1994: 4), bahwa Hukum Konstitusi adalah Hukum Tata Negara dalam arti sempit, tidak termasuk Hukum Administrasi.[19]



Kesimpulan
     1.      Pengertian konstitusi
Istilah konsitusi berasal dari bahasa Prancis, constituer.Kata konstitusi berarti pembentukan yang berasal dari kata kerja, yaitu constituer (Prancis) yang berarti membentuk.
Konstitusi merupakan hukum yang lebih tinggi atau bahkan paling tinggi dan paling fundamental sifatnya karena konstitusi tersebut sendiri merupakan sumber legitimasi atau landasan autorisasi bentuk-bentuk hukum atau peraturan-peraturan perundang-undangan lainnya. Sesuai dengan prinsip hukum yang berlaku universal, maka agar peraturan-peraturan yang tingkatannya berada dibawah undang-undang dasar dapat berlaku dan diberlakukan, pertaturan-peraturan tersebut tidak boleh bertentangan dengan hukum yang lebih tinggi.
     2.      Pengertian Hukum Tata Negara
Hukum Tata Negara sebagai suatu cabang ilmu hukum, telah lama dikembangkan sebagai mata kuliah dan dijadikan bahan diskusi diberbagai fakultas hukum perguruan tinggi di Indonesia.
Hukum Tata Negara di Indonesia dikembangkan sebagai suatu cabang ilmu hukum yang amat luas cakupannya, sehingga cakrawala pemikiran yang perlu dikembangkan di dalamnya juga terbentang luas, tergantung bagaimana para mahasiswa dan sarjana hukum yang menggelutinya berfikir dan bertindak dalam hubungannya dengan cabang Ilmu Hukum Tata Negara itu.
      3.      Perkembangan Konstitusi di Indonesia
Dalam sejarah ketatanegaraan Indonesia ada empat macam Undang-Undang Dasar yang pernah berlaku yaitu : (1) UUD 1945, yang berlaku antara 17 Agustus 1945 sampai 27 Desember 1949; (2) Konstitusi Republik Indonesia Serikat (3) UUD sementara 1950 (4) UUD 1945, yang berlaku sejak di keluarannya Dektrit Presiden 5 Juli 1959
      4.      Kedudukan Konstitusi didalam Hukum Tata Negara
Menurut Djokosoetono Hukum Konstitusi sama dengan Hukum Tata Negara, Sedangkan teori konstitusi lebih luas, karena mengkaji juga aspek politik dan sosial budaya yang mempengaruhi hukum tata negara baik dalam teori maupun praktik.


DAFTAR PUSTAKA
      A.    Buku
Abas, Wawan. Perkembangan Tata Negara Indonesia. 1983. Bandung: Armico
Asshiddiqie, Jimly. Hukum Tata Negara dan Pilar-Pilar Demokrasi. 2011.
Jakarta: Sinar Grafika
Asshiddiqie, Jimly. Konstitusi dan Konstitusionalisme Indonesia. 2011.
Jakarta: Sinar Grafika
Atmadja, Dewa Gede. Hukum Konstitusi. 2012. Malang: Setara Press
Budiarjo, Miriam. Demokrasi di Indonesia. 1988. Jakarta: Gramedia
Hamidi, Jazim, dkk. Teori Hukum Tata Negara. 2012. Jakarta: Salemba
Humanika
Huda, Ni’matul. Hukum Tata Negara Indonesia. 2013. Jakarta: Raja Grafindo
Persada
Magnis-Suseno, Franz. Filsafat Sebagai Ilmu Kritis. 1992. Jakarta: Kanisius
Manan, Bagir. Teori dan Politik Konstitusi. 2003. Yogyakarta: FH UII Press
Thaib, Dahlan. Teori dan Hukum Konstitusi. 2013. Jakarta: RajaGrafindo Persada

      B.     TAP MPR
Ketetapan MPR Nol IX/MPR/1999 tentang Penugasan Badan Pekeja Majelis
Pemusyawaratan Rakyat Republik Indonesia
Ketetapan MPR No. II/MPR/1999 tentang Peraturan Tata Tertib Majelis
Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia.




[1]Franz Magnis-Suseno, Filsafat Sebagai Ilmu Kritis, (Jakarta: Kanisius, 1992), hlm. 230
[2]Abas, Wawan.Perkembangan Tata Negara Indonesia.(Bandung: Armico. 1983) Hlm.1
[3]Dahlan Thaib, dkk, Teori dan Hukum Konstitusi, (Jakarta: Grafindo Persada, 2013), hlm. 6.
[4]Jazim Hamidi, dkk, Teori Hukum Tata Negara, (Jakarta: Salemba Humanika, 2012), hlm.94
[5]Miriam Budiarjo, Demokrasi di Indonesia, (Jakarta: Gramedia, 1988), hlm. 96-97
[6]Dahlan Thaib, op.cit., hlm. 9
[7]Jazim Hamidi, dkk, op.,cit, hlm. 95-99
[8]Lima kesepakatan tersebut dilampirkan dalam Ketetapan MPR Nol IX/MPR/1999 tentang Penugasan Badan Pekeja Majelis Pemusyawaratan Rakyat Republik Indonesia untuk Melanjutkan Perubahan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945
[9]Sidang Tahunan MPR baru dikenal pada masa refomasi berdasarkan Pasal 49 dan Pasal 50 Ketetapan MPR No. II/MPR/1999 tentang Peraturan Tata Tertib Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia.
[10]Jazim Hamidi, dkk, op.,cit, hlm. 100-101
[11] Dahlan Thaib, dkk, Teori dan Hukum Konstitusi (Jakarta: Rajawali Pers, 2013), hlm. 79-80
[12] Dahlan Thaib, dkk. Op.,cit, hlm. 80-82
[13]Jimly asshiddiqie, Hukum Tata Negara dan Pilar-pilar Demokrasi, (Jakarta: Sinar Grafika, 2011), hlm. 110-112
[14]Ni’matul Huda. Hukum Tata Negara Indonesia.(Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2013), hlm. 132
[15] Jimly asshiddiqie, Konstitusi dan Konstitusionalisme Indonesia (Jakarta: Sinar Grafika, 2010), Hlm. 32-40
[16] Ni’matul Huda, op., cit. hlm. 144 - 149
[17] Bagir Manan, Teori dan Politik Konstitusi (Yogyakarta: FH UII Press, 2003), hlm. 11.
[18]Ni’matul Huda .Op., cit. hlm. 150-154
[19] Dewa Gede Atmaja, Hukum Konstitusi, (Malang: Setara Press, 2012), Hlm. 3-6

Tidak ada komentar:

Posting Komentar